Hari kemerdekaan Republik Indonesia sudah berjalan selama tujuh puluh delapan tahun. Dari tahun ke tahun, kemeriahan agenda ulang tahun selalu menjadi hal yang ditunggu oleh banyak orang. Setiap tanggal 17 Agustus, animo masyarakat menguat dengan diadakannya serangkaian kegiatan yang sangat menghibur, seperti atraksi budaya, karnaval, permainan tradisional, dan sebagainya. Salah satu yang tidak pernah terlewat adalah upacara bendera.
Upacara bendera dilaksanakan dengan susunan acara yang terstruktur. Ada pembina dan pemimpin upacara yang menjadi sentral. Ada pula pembaca naskah pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 yang turut serta. Serta, ada petugas pengibaran bendera yang kerap memukau. Setidaknya, ada sekitar lima belas urutan pelaksanaan upacara hingga barisan dibubarkan.
Pertama kali ikut upacara bendera yaitu waktu sekolah jenjang pertama. Tidak ada yang istimewa kala itu. Sebab, awal mulanya hanya ikut-ikutan saja. Asal ketemu banyak teman di keramaian, itu sudah membuat bahagia. Kalau boleh memilih, waktu itu mending di rumah saja dari pada panas-panasan dan tidak mendapatkan apa-apa. Pemikiran anak kecil memang berbeda. Ikut upacara bukan karena mengerti pentingnya perjuangan, tetapi sekadar karena menggugurkan kewajiban. Lebih tepatnya, dipaksa keadaan.
Ah, iya. Kalau terakhir kali berkontribusi dalam upacara bendera itu sudah lama sekali. Terhitung semenjak menikah sekitar enam tahun yang lalu. Setelah itu, belum ikut lagi. Sejujurnya, ada rasa rindu yang membuncah untuk menikmati momen upacara kemerdekaan seperti dulu. Namun, keinginan itu harus meluap karena waktunya belum tepat.
Lah, malah curhat?
Untung saja, momen yang terbatas itu menyisakan makna yang cukup dalam. Sehingga, pengalaman yang hanya tinggal kenangan, masih membekas dalam pikiran.
Sungguh, pengalaman mengikuti upacara bendera selalu memiliki cerita tersendiri. Ada saja kesan menyenangkan sering singgah di hati. Selain dari sakralnya prosesi upacara, ada hal yang tak henti berkelindan di kepala. Yakni, keunikan kostum yang dipakai beberapa peserta.
Kalau memakai seragam profesi atau baju daerah mungkin sudah umum. Nah, yang ini memang agak lain. Berbeda dari biasanya. Contohnya, dari kelompok tani dengan pakaian khas petani; memakai caping dan membawa sabit yang terbuat dari kardus bekas, sehingga tidak akan membahayakan. Ada juga atribut khusus dari para penderes---pencari legen atau nira kelapa, ia membawa jerigen air yang biasa dipakai untuk menampung nira.
Sebenarnya, perihal kostum ini masih sebagian kecil kejadian aneh upacara bendera, terutama di desa yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal. Yang lebih menancap di ingatan, orang-orang di desa ini tidak perlu seragam rapi selaiknya paskibraka. Cukup dengan kepercayaan diri yang tinggi, ia sudah berhak menjadi petugas upacara. Mengenakan daster tidak menjadi persoalan. Memakai baju koko pun tak mengapa. Asalkan, semangatnya tetap membara.
Pengalaman upacara bendera ala kadarnya semacam itulah yang malah tak lekang dalam ingatan. Aktivitasnya tidak monoton dan penuh keintiman. Suatu kekhasan yang jarang sekali ditemui. Sebab, memperingati hari istimewa dengan apa adanya seperti itu justru bisa menjadi gambaran perjuangan yang sesungguhnya.