Kalau ada yang bertanya, "Apa makna merdeka bagimu?"
Aku akan dengan lantang menjawab, "Merdeka bagiku adalah ketika aku bebas berpendapat tanpa perlu takut ada yang tidak sepakat."
Pasalnya, selaku perempuan yang lumayan lama tinggal di desa, aku tidak mendapatkan fasilitas itu. Masyarakat sekitar menganggap kalau cara berpikir seseorang mengenai sesuatu tidak sejalan, ia berarti sedang melawan arus. Jika jalan yang ditempuh berbeda, ia akan tersingkir dengan sendirinya.
Sehingga, di tempat ini, kemerdekaan bagi seorang perempuan seolah-olah menjadi barang langka yang tidak semua orang mampu menggapainya. Kalau salah pergerakan, bisa-bisa menjadi bahan pergunjingan.
Padahal, sudah jelas-jelas kalau setiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing. Tidak bisa dipaksa harus selaras terus menerus. Ada kalanya perbedaan itu diperlukan untuk menunjukkan keberagaman.
Bersikap berbeda juga tidak masalah asal tidak melanggar norma-norma yang ada, bukan?
Namun, sayangnya itu tidak berlaku bagi orang yang tinggal di desa yang kutinggali  saat ini. Makna merdeka seakan-akan mahal harganya di sini.
"Orang, kok, aneh. Tingkahnya nggak sama dengan yang lainnya."
Kalimat itu kerap ditemui ketika ada yang memilih untuk tidak sepaham. Entah benar atau salah, suara terbanyak dinyatakan sebagai kebenaran. Kalau tidak mengikuti pemikiran masyarakat setempat, siap-siap tidak ada yang mau berteman.
Sehingga, setelah melakukan perenungan panjang, aku selalu merasa kebingungan saat diberi pertanyaan, "Bagaimana cara kamu memaknai kemerdekaan?"