Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - Tukang Kebun

I love reading as much as I love my cats

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Rin (Chapter 2 of 5)

24 Juli 2015   20:21 Diperbarui: 28 Juli 2015   15:37 3095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="deviant art, anime rendeer"][/caption]

Lurus terus, begitu sampai tengah akan ada dua tangga yang membentuk lingkaran. Turun, belok kanan lalu akan ada pintu besar. Itu ruang makannya.

Kutatap gelang rami ibu yang putus di hadapanku. Umi-san memakaikanku kimono sutra hitam dengan corak ikan koi bulan. Ia memintaku untuk langsung turun jika ternyata ia tak sempat kembali.

“Nah nona, ini kamar Anda,” Umi-san membuka pintu kayu tinggi yang ada di hadapan kami. Kamar yang terbentang di hadapanku jelas 5 tatami lebih luas dari kamar di Toyama.

“Maaf Umi-san, bisakah kau berhenti memanggilku nona?” Sepertinya ada yang salah. Kurasa Umi-san belum tahu kalau aku akan jadi rekan kerjanya. Mungkin ia mengira kalau aku tamu majikan kami.

“Eh?” Umi-san mengangkat alisnya terkejut.

“Mmm, maafkan aku, tapi sepertinya Umi-san salah mengiraku sebagai tamu. Sebenarnya aku calon pekerja untuk rumah ini. Juga, aku tak yakin kalau ini benar-benar kamar yang Tuan Tomine maksud,”

“Mmm, maksud no-“

“Jadi kau sudah di sini...” seseorang tiba-tiba berdiri di depan pintu. Kami berdua terperanjat. Umi-san menundukkan kepala, “Tuan muda...” gumamnya. Mendengar ini aku langsung menundukkan kepalaku.

“Tinggalkan kami,” bisik tuan muda dingin. Aku menoleh ke arah Umi-san, ia mengangguk dan langsung berjalan ke arah pintu. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam. Kufokuskan penglihatanku pada corak lantai pualam di bawah. Kutatap gurat-gurat putih gading dipermukaan hingga akhirnya tuan muda menjambak rambutku dan membuat wajahku mendongak ke arahnya.

“Akhirnya aku mengerti kenapa kakek mau membayarmu cukup mahal,” ujar tuan muda dengan ekspresi jijik. “Apa kau sering menjual badanmu seperti ini? Apa kau menggoda semua mangsamu dengan wajah ini?” tanya tuan muda, ia mengkencangkan jambakannya, Kutahan rasa sakitnya dan kupaksakan diriku menggeleng. Tuan muda kesal dan mengempaskanku ke atas kasur. Baru saja aku hendak bangun ketika tiba-tiba tuan muda menahan kedua pergelangan tanganku.

“Anda salah paham... sepertinya ada yang salah,” ujarku sambil berusaha bangun. Saat aku berhasil terlepas, Tuan merenggut kerah bajuku, refleks kugigit lengannya kuat-kuat. Ia meringis.

“Maafkan aku tuan... maafkan aku...” Aku langsung duduk bersimpuh, kutundukkan wajahku lekat-lekat ke lantai. Tubuhku menggigil. Tuan muda mencengkram pipiku, "tak peduli apa yang dipikirkan kakek, aku tak akan mengakuimu," setelah itu ia pergi. Tak lama kemudian Umi-san masuk, ia langsung memintaku berdiri dan menanyakan keadaanku lalu kami langsung bersiap untuk makan malam. Jadi di sinilah aku sekarang... duduk menatap gelang ibu yang rusak dengan kimono sutera hitam yang indah. 

**

“Kurasa nona benar-benar mengira dirinya akan bekerja di sini,” Umi akhirnya berani membuka mulut di depan Tomine.

“Apa maksudmu?” tanya lelaki itu sambil menyiapkan anggur untuk tuan besar. Makan malam akan  segera berakhir, tapi meski tuan besarnya belum juga muncul, Tomine tahu bahwa ia akan tiba tak lama lagi. Tuannya akan langsung pulang begitu rapat selesai. Ia ingin menemui calon istri pilihannya untuk Tuan Hiro.

“Aku tak yakin kalau mereka memberitahu Nona Rin." Umi menautkan alisnya, ia menatap Tomine, "Apa ia benar-benar euh, menjual dirinya?” Umi tak kuasa bertanya, ia bergidik mengingat apa yang ia lihat saat kembali tadi. Baju Rin koyak, gadis itu tengah bersimpuh, seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. Ia menempelkan kepalanya lekat-lekat ke lantai.

“Menurutmu gadis macam apa yang minta uang muka saat diadopsi?” sahut Tomine dingin. Kepala pelayan itu tahu persis berapa jumlah uang yang dikirimkan tuan besarnya, ketika ditawar untuk mengirim setengah dulu, Rin menolak. Ia minta uangnya dibayar penuh dan dalam bentuk tunai. Benar-benar maling cilik, pikir Tomine.

“Entahlah...” Umi menghela nafas, menutup pembicaraan. Ia berjalan ke arah ruang makan. Di ruang makan duduk nyonya, tuan muda, dan Nona Rin. Seperti biasa, suasana ruangan itu terasa kaku, terlebih lagi ketika adik laki-laki nyonya dan istrinya bergabung. Kalau bukan atas permintaan tuan besar, tak mungkin mereka duduk satu meja seperti ini, benak Umi.

Keluarga Hanada adalah keluarga terpandang, tuan besar memiliki usaha kuat di bidang kelautan dan teknologi. Namun sayangnya, meski memiliki semua yang dibutuhkan, keluarganya tidak terlalu bahagia. Terlebih lagi sejak nyonya mengaku bahwa selama ini ia dibiarkan selingkuh oleh suaminya, ayah dari tuan muda Hiro.

Umi menghela nafas, melirik Rin yang tidak menyentuh makanannya sama sekali. Ia belum mengerti alasan tuan besar tiba-tiba ingin menikahkan tuan muda dengan gadis itu. Terlebih lagi dengan syarat uang yang Rin ajukan. Tapi, apa benar Rin yang terlihat kampungan menjual dirinya ke keluarga ini? Tanya Umi dalam hati.

**

bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun