Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - Tukang Kebun

I love reading as much as I love my cats

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rin (Chapter 1 of 5)

22 Juli 2015   17:21 Diperbarui: 28 Juli 2015   15:37 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nanti, begitu kau sudah cukup besar... kau akan mengerti bagaimana ibu bisa tahu kalau ayahmu adalah orangnya.”

Kupandangi gelang milik ibu. Lilitannya terdiri dari 3 helai tali rami yang disusun seperti rantai. Di bagian tengah menggantung dua pecahan sea glass yang ayah temukan ketika ia menyelam mencari gurita. Mereka berpendar cantik, menimbulkan semburat cahaya berwarna merah muda dan biru. Kutarik nafasku dalam-dalam, lalu kubuang perlahan.

Kuusap beberapa bulir air yang keluar dari kelopak mataku. “Apa kau yakin?” Marie menggenggam lenganku dengan wajah sendu. Kulemparkan senyum tipis ke arahnya dan dengan berat hati kuanggukkan kepalaku. Sekali lagi kugenggam dua rangkai sea glass gelang ibu.

“Andai aku bisa menolongmu...” bisiknya. Marie memelukku dan mulai menangis. Kubalas pelukannya.

Siapa sangka aku harus meninggalkan semuanya tiba-tiba? Sahabat, sekolah, bibi, rumah, dan jutaan kenanganku bersama ibu. Teluk ini adalah segalanya bagiku tapi sekarang tak ada pilihan lain, aku harus pergi. Harus ada yang membiayai operasi bibi dan tawaran pekerjaan dengan bayaran di muka adalah pertolongan dari dewa. Aku tak bisa menolaknya.

Kubiarkan angin pesisir berdesir dingin menerpa wajahku, kubiarkan air mataku jatuh dan mengering di atas gelang rami ibu.

“Rin-chan... sudah saatnya.”

**

Teluk Toyama mengecil seiring menjauhnya kapal yang akan membawaku ke Tokyo. Entah kapan aku bisa kembali. Paman Hachibe berjanji akan menjaga bibi dan mengirim surat begitu aku tahu alamat majikanku. Marie terus melambaikan tangan, aku terus membalas lambaian itu hingga lenganku kebas dan Marie tak terlihat lagi.

**

“Untuk sementara kau akan masuk SMA almamater Tuan Muda. Tapi sebelum itu, tolong ikuti kelas kepribadian,” ujar Tuan Tomine yang datang menjemputku di pelabuhan. Aku baru tahu kalau orang Tokyo menjemput pelayan mereka dengan mobil semewah ini. Aku mengangguk. Kuremas sapu tangan yang diberikan Marie sebagai kenang-kenangan. Kulimpahkan tiap tekanan rasa takut ke remasanku. Ibu, paling tidak mereka tidak menjualku.

Setelah satu jam lebih, akhirnya mobil masuk ke gerbang yang terbuat dari besi ulir. Butuh waktu beberapa menit hingga mobil yang kutumpangi sampai di depan garasi. Apa mereka akan memintaku membersihkan rumah sebesar ini sendirian? Oh biarlah, membayari biaya rumah sakit bibi dan membiarkanku tetap sekolah sudah cukup membuktikan bahwa majikanku adalah orang baik. Aku akan bekerja sepenuh hati untuk tuan dan nyonyaku nanti.

“Umi akan menunjukkan kamarmu, rapihkan barang-barangmu. Begitu selesai, panggil umi. Dia akan menyiapkanmu untuk makan malam,” Tuan Tomine membantuku mengeluarkan dua tas besar yang kubawa, setelah itu ia menatap mataku dan mendekatkan wajahnya ke kupingku, “Kau maling cilik, jika kau tak pertahankan posisimu, kujamin hidupmu akan menderita di sini,” desis Tuan Tomine. Aku tak mengerti apa yang dimaksudnya, tapi dari nada bicara yang ia pakai, jelas aku tak begitu diterima di rumah ini.

bersambung...

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun