Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - Tukang Kebun

I love reading as much as I love my cats

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Keluarga Jadi Predator? Renungan Jelang Hari Keluarga Nasional

20 Juli 2015   15:11 Diperbarui: 20 Juli 2015   15:11 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi, keluarga (www.healthearizonaplus.gov)"][/caption]

Tanggal 1 Agustus 2015 nanti Indonesia akan memperingati Hari Keluarga Nasional dan dalam rangka menyambut Harganas, belum lama ini Kompasiana bekerjasama dengan BKKBN dan membagikan ilmu seputar keluarga berencana. Saya belum berkesempatan untuk hadir di acara tersebut, tapi ilmu yang dibagikan BKKBN di Tanggerang Selatan tersampaikan lewat buku Parenting saya baca pagi ini.

Untuk sekedar gambaran, MDK Reports BKKBN melaporkan bahwa di hingga akhir 2014, Indonesia memiliki 67,6 juta Kepala Keluarga. 11, 69% nya perempuan, 42% kepala keluarga masuk ke dalam golongan pra sejahtera, 20 % hidup tanpa kepemilikan rumah, dan 11% belum memiliki pekerjaan.

Angka-angka di atas sedikitnya memberi kita gambaran akan kondisi kehidupan keluarga Indonesia. Terlebih lagi dengan besarnya angka kasus kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan anak, dan kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga. Yep, we’re not the brightest but still... we have our chance to change.

Ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas asuhan orangtua Indonesia. Himpitan ekonomi, tekanan lingkungan, dan kultur parenting negatif menjadi beberapa di antaranya. Namun hal ini tak lantas menutup kemungkinan kita untuk memperbaiki keadaan. kita masih punya kesempatan dengan menjadi orang yang lebih sadar dan peduli.

Belum lama ini, ketika kasus Angeline mencuat, seorang teman nyeletuk, “Ini perasaan saya aja atau memang komnas dan pemerintah baru keliatan tindakannya pas kasus udah masuk tv ya?” lepas itu, ia menjabarkan kekecewaannya terhadap pemerintah dan lembaga. Ia menganggap bahwa kurangnya edukasi dan sosialisasi pemerintah jadi penyebab tingginya kasus kekerasan. “Kenapa gak diedukasi orangtuanya?kenapa pas rame baru pada tuurun gunung?”

Hem, soal perlunya sosialisasi untuk orangtua saya sependapat, namun rasanya tidak tepat jika kita terus menjadikan lembaga dan komnas sebagai kambing hitam. Justru sebaliknya, kitalah yang harus intropeksi diri karena tanpa kita sadari, opini mendiskreditkan ini muncul karena minimnya pengetahuan kita akan kinerja pemerintah tertutupnya mata kita akan kondisi keluarga Indonesia pada umumnya.

Kitalah yang baru bereaksi begitu ada kasus parah. Kita lah yang hanya peduli begitu ada blow up media, kita lah yang tidak sadar akan keadaan selama ini. Kita hanya melihat semua yang ada dipermukaan. Begitu kasus tenggelam, apa kita tetap menyuarakan ke-antian kita akan kekerasan terhadap anak? Apa kita meneruskan kepedulian kita akan pola asuh anak di lingkungan keluarga? Kalau ada istilah “taubat sambal” maka boleh lah saya menyebut kelakuan kita ini sebagai “peduli sambal”.

Daripada sibuk menyalahkan si ini dan si anu, lebih baik kita mempertahankan kesadaran dan kepedulian kita terhadap pola asuh yang diterapkan di rumah. Jangan tanya bagaimana kinerja pemerintah dan Komnas perlindungan, karena mau dicek berapa kali pun, they’re working on it.

Lagipula, melakukan pola asuh yang baik dan menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif bukan hanya tugas pemerintah, ini sudah jadi tanggung jawab kita semua. Oleh karena itu, yuk kita tetap sadar dan peduli. [ELA]

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun