Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - Tukang Kebun

I love reading as much as I love my cats

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stop Child Abuse In Any Form!

8 Juli 2015   12:04 Diperbarui: 8 Juli 2015   12:04 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika semua orang mengkampanyekan gerakan antibullying, orangtua justru memancing tindakan bully terhadap buah hatinya.

“Saya sering menyaksikan anak dipukui bertubi-tubi tubuhnya, saat saya sedang dipasar. Si anak meminta sesuatu namun sang ibu tak memberinya akibatnya si anak menangis dan sang ibu marah besar hingga berteriak-teriak dan memukulinya.” (Syasya Kompasiana, 15 Mei 2013)

Ini adalah sedikit penggalan dari artikel Bunda Syasya di Kompasiana. Lewat tulisan, beliau menceritakan kasus orangtua yang menjahit mulut anaknya. Kejam ya?

Tiongkok bukanlah satu-satunya negara. Cara keras dalam “mendidik” seperti ini dilakukan oleh banyak orang tua di dunia, bahkan di negara-negara maju sekali pun. Namun sadarkah kita kalau ada bentuk hukuman lain yang sama buruknya tapi tetap dipilih banyak orangtua karena dianggap jauh lebih “aman”?

[caption caption="Screencapture Izabel dan rambutnya yang berserakan di lantai (dailymail.co.uk)"][/caption]

Belum lama ini, Dailymail.co.uk mengudarakan berita kasus bunuh diri bocah cantik Izabel Laxamana. Remaja umur 13 tahun itu diduga nekat loncat dari jembatan karena video dirinya yang tengah dihukum sang ayah beredar di youtube. Di video itu, Izabel terlihat tengah berbicara dengan ayahnya dan di sekitaran lantai ada banyak rambut hitam berserakan. Ayahnya menghukum Izabel dengan menggerepesi rambut indah Izabel. Ini terjadi di Washington.

Selain itu, masih di sekitaran Amerika, tepatnya di Kota Georgia, ada salon yang menawarkan mode rambut kakek-kakek untuk orang tua yang ingin “mendidik” anaknya yang nakal. Contoh anak yang sudah dipotong dengan gaya itu bisa kita lihat di foto atas. (kompas.com)

Mungkin bagi sebagian orangtua menghukum anak dengan cara mempermalukan mereka masih bisa diterima, tapi sebenarnya hukuman ini tak lebih buruk dari hukuman fisik. Dengan mempermalukan anak di depan teman-temannya, orangtua sudah melukai mental sang anak, memancing bullying oleh teman-teman hingga tak menutup kemungkinan, anak kehilangan kepercayaan diri, depresi hingga berakhir bunuh diri.

Izabel menjadi contoh nyata. Selain mempermalukan, ada pula jenis hukuman yang bisa menimbulkan efek jangka panjang yang lebih mengkhawatirkan bagi anak kita, yakni melakukan kekerasan verbal terhadap anak.

Bentakan, "Dasar bodoh!" kalimat, "kamu itu anak pungut!", atau sebutan "si dungu!" masih jadi senjata orang tua untuk meluapkan kekecewaannya pada anak. Memang tidak ada luka fisik yang ditimbulkan dari bentakan dan teriakan. Namun, efek dari kekerasan verbal juga sama parahnya. Menurut paparan psychcentral.com, kekerasan verbal bisa menimbulkan perasaan mudah gugup, kekurangyakinan pada eksistensi, merosotnya kemampuan verbal, ketidakpercayaan diri, hingga akhirnya anak hidup dengan perasaan tidak nyaman dengan diri sendiri. Bagaimana anak kita bisa menjadi anak yang kita banggakan kalau ia bahkan tidak bangga terhadap dirinya? Bahkan Alfred Adler -peneliti yang mengabdikan diri pada penelitian kepercayaan diri- menyatakan bahwa kebutuhan yang paling penting adalah kebutuhan akan rasa percaya diri dan rasa superioritas.

Dengan menimbulkan rasa superioritas pada anak, kita mendidik mereka untuk menjadi pribadi yang bisa bekerja keras dan mampu membaca sejauh mana kemampuan dirinya. Mengancam dan membentak bukan solusi. Melakukan dua hal tersebut hanya mendatangkan rasa bersalah dan membuat anak kita tidak merasa dicintai. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mulai mengubah diri dengan memahami beberapa poin di bawah ini.

 

  • Meminta Anak merenungkan kesalahan jauh lebih baik ketimbang meneriaki mereka

Ini adalah cara yang paling tepat jika Anda merasa perlu waktu untuk menenangkan diri. Sebelum kita kalap hingga kata-kata atau tindakan yang tak diinginkan terjadi, minta anak masuk kamar untuk merefleksikan kesalahan. Begitu Anda tenang, Anda bisa menghampiri kamarnya dan menjelaskan alasan mengapa ia salah dan bagaimana perasaan Anda.

  • Balita tidak pernah salah

Akan datang masa ketika kita kesal menghadapi si buah hati, dia merengek, menangis, susah disuapi atau mengisengi saudara/i nya. Memang menghadapi anak yang sedang tantrum bikin kepala pusing, tapi satu hal yang harus Anda ingat, anak kecil kita tidak pernah bermaksud buruk. Pasti ada hal yang memicunya susah diatur, bisa karena ia ingin diperhatikan atau ada hal yang Anda tidak ketahui telah mengganggu, dan ini tugas Anda untuk mencari tahu penyebab dan segera menyelesaikannya. Jika anak berbuat salah, maka jelaskan dengan baik mengapa yang dilakukannya salah dan jangan lupa untuk memuji mereka ketika mereka berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

  • Remaja dalam masa pencarian jati diri

“Enggak, jangan dateng, malu!” atau “Kenapa sih ini diberesin?” ini adalah kata-kata yang sering saya dengar dari mulut adik saya yang kala itu masih SMP. Jika sudah begini biasanya ibu saya cuma bisa urut dada. Masa remaja memang masa yang paling menyusahkan bagi orang tua. Sedikit-sedikit ngambek, sedikit-sedikit protes, tapi hal ini adalah hal yang wajar karena masa remaja memang masa ketika anak mencari kepribadiannya. Tugas orangtua di masa seperti ini adalah mendampingi dan memastikan anak tidak memilih kepribadian yang salah. Forum diskusi bisa jadi salah satu pilihan, tapi ingat! Diskusi harus berjalan dua arah. Biarkan si anak menceritakan dan meluapkan keluhannya setelah itu baru kita menanggapi dan mengungkapkan harapan ktia sebagai orangtua. Mendidik anak dengan mengajaknya diskusi bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab pada anak, selain itu dengan mendengarkan opini anak, kita bisa lebih tepat menentukan tindakan untuk kebaikan sang anak.

  • Membuat anak merasa dicintai adalah inti tugas sebagai orangtua

Apa yang  kita pikirkan ketika memutuskan untuk punya anak? Apa saat itu kita benar-benar sudah siap? Menjadi orangtua bukan sekedar membesarkan dan memberi pendidikan. Memberi makan dan sekolah memang kewajiban, tapi tugas mulia yang diemban orangtua sesungguhnya adalah untuk memastikan anak yang dibesarkannya merasa dicintai. Anak adalah titipan Tuhan. Titipan Tuhan hanya datang pada orang yang meminta atau orang yang sudah siap untuk menerimanya. Oleh karena itu, ketika kita mendapatkan titipan buah hati, maka sudah menjadi amanah kita untuk mencintai dan menyampaikan rasa cinta itu lewat tutur dan tindakan.

Orangtua adalah sosok panutan dan tokoh utama yang menentukan bagaimana nasib anak selanjutnya, oleh karena itu jangan sampai tindakan yang kita pilih justru menimbulkan efek buruk bagi mereka. Yuk jadi orangtua keren! [ELA]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun