[caption id="attachment_377639" align="aligncenter" width="514" caption="Yoko Tanji"][/caption]
Sinopsis
“Well, mmm… aku jarang menggunakan kekuatan itu.
Oh ayolah, kau sudah tahu kekuatan apa yang kumaksud. Ya, aku nyaris tak pernah menggunakan itu sejak benar-benar bisa mengendalikannya. Asal kau tahu, dari sekian banyak jenis kekuatan, kemampuan melihat masa lalu adalah yang paling tidak keren. Maksudku, siapa sih yang mau melihat ibumu bercinta dengan instruktur yoga-nya lewat pelukan ringan? Dan gara-gara kekuatan mengerikan ini, aku jadi keceplosan menyebut nama pembunuh cinta tak berbalasku Jeff ketika menemukannya tergeletak dengan kepala pecah ditembak…“
Cerita Demi Finn dimulai di sini.
***
Akhirnya kami tiba di sini, di markas satuan organisasi tak terdaftar CIA. Setelah naik lift sampai lantai 30, si Jake kembali menggiringku ke ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini ruangan itu bukanlah kantor, tetapi lebih menyerupai ruang tunggu. Hanya ada dua sofa besar berwarna cokelat muda, satu meja hitam besar dan beberapa rak buku yang menempel langsung ke dinding. Ruangan ini akan terlihat lebih hidup jika mereka meletakkan pot tanaman seperti palem kecil di pojok ruangan atau agloenema hias di atas meja tambahan di sudut sebelah rak buku.
“Senang bertemu lagi denganmu sayang,” sambut Mrs. Elton dengan wajah ramah yang sama seperti terakhir kali aku “melucuti” masa lalunya yang agak memalukan kemarin. Entah apa yang salah dengan otak wanita ini, tapi yang jelas ia sinting karena –izinkan aku mengemukakan pendapatku- tak akan ada orang yang mengeluarkan ekspresi bahagia saat mengetahui bahwa anak remaja usia 17 tahun baru saja membongkar kenangan menyakitkan ketika suami mereka ketahuan selingkuh. Ya, aku menceritakan kembali kenangannya tentang itu ketika ia ingin tahu bagaimana kekuatanku bekerja. Agak kejam memang, tapi jangan salahkan aku, dia sendiri yang memintaku untuk melakukannya. Ia memintaku agar menyebutkan rahasia yang akan dibawanya mati, apa sih pilihan yang kupunya?
Karena tidak ada yang bisa kulakukan, jadi aku hanya tersenyum dan berusaha sebaik mungkin untuk bersikap sopan, “terimakasih,” sahutku sambil mengikuti perintahnya untuk duduk.
“Bisakah kita segera mulai? Karena sekarang sudah terlalu larut untuk anak SMA,” si Jake kali ini tak perlu merasa repot-repot menutupi kekesalannya. Oh, kurasa itu memang sudah jadi keahlian seumur hidupnya, memasang muka datar atau menyemburkan sikap tak bersahabat, maksudku.
“Oh sayang sekali Egnatz, kurasa ia harus terbiasa tidur larut malam agar bisa mengerjakan tugas pertama kalian,” sahut Mrs. Elton. Mau tak mau aku langsung menatapnya dengan wajah bertanya.
“Demi, anakku, tiga hari lagi kau akan kuberi tugas. Ya son, bukan besok tapi tiga hari lagi. Sebelum mengambil tugas kalian yang pertama, Demi harus melewati tes lab dan diberi pelatihan awal terlebih dahulu. Yaya, aku tahu kasus ini butuh penanganan cepat, makanya ia hanya akan masuk lab selama tiga hari,” aku baru saja hendak membuka mulutku tapi wanita cantik berumur 50-an ini langsung menjawab pertanyaan yang baru ingin kulontarkan, “tenang saja sayang, bukan tes lab seperti yang kaubayangkan... mereka hanya melakukan tes-tes kecil dan kau akan mengikuti kelas kriminologi dan pengetahuan dasar ilmu forensik.
Tes dan pelatihan akan terus berlanjut seiring dengan tugas-tugas lainnya untuk kalian berdua. Kau tak keberatan bukan, sayang? Karena ini bagian dari kesepakatan,” Mrs. Elton menjelaskan dengan nada hore-kita-akan-liburan, padahal yang sedang dibicarakannya adalah hal-hal yang membuatku harus melupakan hidup normalku. Well baiklah, mungkin memang hidup tak pernah menjadi normal untukku, tapi mempelajari ilmu forensik di umur 17 tahun tentu akan membuatku makin jauh dari hidup normal, kan?
“Apa aku punya pilihan?” tanyaku sambil meringis.
“Sayangnya tidak, sayang. Bakatmu bisa membantu banyak orang,” jawab Mrs. Elton dengan ekspresi simpati yang tak membuatku terhibur sama sekali.
**
“Ya, sepupu Jake memintaku untuk menjaga uncle selama ia bekerja,” dustaku di telepon ketika aku harus memberi kabar pada Anya bahwa selama tiga hari ke depan aku tidak akan masuk. Kujelaskan padanya bahwa sekarang aku sudah di Virginia –yang sebenarnya itu sama sekali bukan kebohongan, karena aku benar-benar sedang ada di pusat pelatihan dan penelitian CIA di Virginia- membantu sepupuku untuk menjaga ayahnya selama tiga hari di rumah sakit karena serangan stroke mendadak. Untunglah Anya tak tahu kalau sebenarnya satu-satunya sanak saudaraku yang tersisa di Amerika hanyalah Uncle John yang sebenarnya tinggal di pesisir Carmel, California.
“Tidak kok. Aku hanya tiga hari di sini. Yeah, sudahlah pokoknya kauurus catatan bahasa Spanyolmu dengan baik agar bisa kupinjam. Uh huh... bye,” dan masalah selesai. Bukan mauku untuk berbohong, malah sebenarnya aku tak suka karena harus berbohong, maksudku, hubungan kan tidak akan berjalan dengan baik jika kita saling membohongi ya kan? Tapi tentu saja aku harus mengarang cerita mengingat Mrs. Elton memintaku untuk merahasiakan ketergabunganku ke satuannya. Kalau kaupikir bahwa aku merasa keren karena sekarang jadi agen rahasia, berarti kau tak mengenalku dengan baik. Biar kuberi tahu, aku bukan tipe penyuka tantangan atau pecinta hal-hal baru, aku bahkan merasa tak perlu menemukan jatidiri atau apa pun yang dianggap banyak orang sedang dilalui anak perempuan seusiaku. Tidak seperti anak muda pada umumnya yang menginginkan sesuatu yang ekslusif, berbahaya atau apa pun yang menurut mereka keren, aku justru lebih menghargai kehidupan tenang yang teratur. Dan ngebut naik pesawat pukul 3 pagi ke Virginia untuk diteliti atau mempelajari jenis-jenis luka sayatan tak bisa dimasukkan ke dalam dua kategori itu.
Jadi, seharian ini aku menjalani serangkaian tes kemampuan –yang membuatku harus memakai kemampuanku berkali-kali- tes psikologis dan tes kesehatan. Mrs Elton tak becanda ketika ia bilang bahwa lab akan berusaha melakukannya habis-habisan, karena tenagaku kini sudah terkuras dan yang lebih buruk di atas semuanya adalah; mereka hanya memberiku waktu selama 20 menit untuk istirahat dan menikmati makanan agar semua tes bisa rampung besok siang. 20 menit! Ya, aku tahu, ini sudah termasuk pelanggaran HAM.
“Maafkan kami Miss Finn, ini belum bisa dibilang hari yang melelahkan, karena usai makan malam kita masih harus memastikan beberapa hal,” ujar dr. Stanley yang seharian ini menemaniku.
“Tidak apa,” jawabku sambil berusaha untuk tersenyum dan menghabiskan steik ikan lada hitamku dengan cepat.
“Kau tahu Miss Finn? Kemampuanmu benar-benar mengagumkan. Selama aku hidup, belum pernah kutemukan indigo dengan kemampuan sepertimu, melihat masa lalu orang seolah kau sedang menontonnya dari televisi...” dr. Stanley berkata dengan wajah kagum yang sebenarnya sedikit menghiburku. Hanya sedikit, oke?
Jujur saja, belum pernah terpikir olehku untuk memanfaatkan kutukan yang dianggap kemampuan istimewa ini untuk sesuatu yang lebih besar karena sejauh ingatanku, tak ada hal baik yang bisa dihasilkan dengan mengetahui masa lalu orang lain.
Bahkan meski kau melakukannya untuk berbuat hal baik. Percayalah, aku pernah melakukannya, aku pernah berusaha menggunakan kemampuanku untuk menolong. Dulu ketika aku kelas lima, seseorang di kelas mencuri dompet salah satu temanku. Karena kupikir aku bisa membantu, kugunakan kekuatanku lalu kutunjuk siapa yang mencurinya dengan menceritakan kronologisnya, ketika guru benar-benar menemukan dompet temanku di tas temanku yang lainnya, guru malah mengira bahwa akulah yang menaruh dompet itu di sana. Dan akhirnya, bukan ucapan terimakasih yang kudapat, sekolah justru memanggil orangtuaku dan aku diminta untuk mengikuti program konseling. Ya, aku ikut program konseling Ngerti kan?
Tetapi wanita ini, Mrs. Elton, dan orang yang mengenalkanku dengannya, Mr. Crimson juga mereka, orang-orang yang menangani tesku lalu mengetahui hasilnya memercayai hal yang berbeda. Mereka menganggap bahwa kekuatanku bisa digunakan dan setelah kupikirkan lagi, mungkin tak ada salahnya menjadi orang yang lebih berguna. Aku bisa mulai berhenti menghabiskan uang di rekening untuk eskrim dan sedikit membantu orang-orang yang membutuhkan di luar sana. Well, sebenarnya agak membingungkan memang, mengingat hampir tak ada orang yang butuh untuk masa lalunya dilihat, tetapi, jika orang-orang ini percaya bahwa aku bisa membantu mereka, mungkin aku akan mencobanya.
“Terimakasih karena sudah melakukan semua ini, Miss Finn. Kau gadis yang baik...”
“Kau ditunggu Iriana di bawah,” tiba-tiba si Jake datang dan tanpa basa-basi menyela obrolan kami. Ia berhasil meniup semangat dan motivasiku hingga terbang entah kemana. Suaranya terdengar sedikit lebih berat. Menyebalkan. Seolah tak cukup membuatku kesal dengan tampang seperti itu, ia juga punya suara yang begitu!
***
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H