"Baa, keluarga udah ikhlas, aba gak usah pikirin emak, anak banyak yang mau urus…" ujar uwak berkali-kali di telinganya.
Kugenggam kantong plastik berisi belimbing erat-erat. Tak bergeming, dadaku serasa mencelos. Mataku tertuju pada wajah keriput yang kini berbaring di dipan kumal. Nafasnya bergemuruh. sesekali air keluar dari sela-sela matanya yang terpejam.Wajah yang dulu terlihat cerah karena wudhu, kini menguning tak lagi kukenali.
"Abaa, yeuh si eneng tos datang…"ujar emak sambil mengulurkan tangan, memintaku mendekat. Kusambut tangan emak dan langsung kucium dahi dan pipinya.
"Assalamuallaikum baa," kudekati aba, kuciumi beliau. Meski tak ada kata-kata, meski ia tak menggerakan ujung jarinya air lagi-lagi mengalir dari sela-sela. Luluh lantak sudah pertahananku. Kantong plastik berisi belimbing terjatuh. Aku menangis sejadi-jadinya. "Baa…" kugamit tangan kurus Aba. Tangan inilah yang dahulu menjadi kalam ketika aku membaca Quran, tangan inilah yang menggendongku dengan penuh rasa sayang.
Ya Tuhan, sudah sebulan lebih aku tak menengok aba. Dengan bodohnya kubawa sekantong belimbing pesanan Aba… dari sebulan yang lalu!
"Kaa udah, jangan nangis lagi. ambil wudhu bacain yaasin bareng ita," ujar mama yang sedari tadi berdiri di belakangku. Kutarik nafas dalam-dalam, meski air mata tak bisa berhenti kukuatkan diriku untuk mengambil wudhu.
Kubaca surah Yaasin bersama ita. Suara kami serak, kudengar sesekali ita menarik nafasnya berat, ia juga sama sepertiku, hilang kontrol atas emosi. Belum pernah aku mengira bahwa membaca surah Yaasin bisa terasa sepilu ini.
***
"HHHH!!" Nafas aba tiba-tiba terdengar keras. Itu sekitar pukul 3 pagi. Aku sedang mengupas belimbing yang kubawa untuk Emak ketika tiba-tiba bapakku melepaskan Quran dari genggamannya.
"Laaa ilaaa ha ilallah… Laaa ilaa ha ilallaah…" seru bapak dengan keras. Suaranya mengagetkan semua orang di ruangan.
Uwak nyai dan mama dengan segera mendekati dipan.
"HHHH!!!"
"Laaa ilaaa ha ilallaahh!" Bapakku mengusap ubun-ubun Aba dengan air zamzam. Aku tak bergeming, aku hanya diam dan menonton semua orang lalu lalang.
Mama mengusap-usap punggung tangan aba, Uwak Nyai membisikkan kalimat syahadat di telinga kakekku, Uwak Eman tetap meneruskan bacaan Qurannya dengan suara yang kian lantang.
"Kkkk…" akhirnya kakekku, Ba Aji, orang yang memberiku nama Nurlaila dengan nama akhir Yusuf  -namanya sendiri- berpulang keharibaan Allah.
Kami menangis, uwakku membenamkan  kepalanya dipangkuan emak, meski juga menangis tapi emak adalah orang yang paling terlihat tegar di ruangan. Sudah 70 tahun ia habiskan hidupnya dengan Aba, barangkali ia lah yang paling siap dan paling sadar kalau saat ini akan datang.
Untukmu yang tercinta,
H. M Yusuf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H