Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - ❤️

The one engaged in remembering God is truly alive. By contrast, the one who disregards his Lord is like a corpse. (B/M)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sumayyah

31 Oktober 2018   15:22 Diperbarui: 25 November 2018   19:14 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Getty Images

"There will be a time when we can eat together
When we will build homes out of abandoned tanks
Peace is a rusted recoil
We will sip from the cups made of old grenades
And shades of green are only worn by nature
There will be a time when the fences choose to sit with us
Instead of standing between us" --Amal Kassir

Sumayyah menghitung jarak dari balik pintu ke reruntuhan besar di seberang. Ia mengintip dari retakan tembok rumah singgahnya. Jantungnya berdetak keras, peluh melesat bergantian turun dari dahi dan punggung. Kerongkongannya kering.

Angin malam bertiup lirih menerbangkan debu dan akar rumput yang sudah tercabut. Namun bukan itu yang membuat ujung jari kaki Sumayyah membeku, melainkan pemandangan yang ia lihat sekarang.

Sekurangnya ada 20 orang berseragam mengangkat ruffle. Dua orang di antara mereka menodongkan moncong senjata mereka ke warga tak bersalah. Ia tak mendengar apa-apa, tapi Sumayyah tau mengapa mereka ke sini.

Perempuan itu tertegun, ia menghitung.

"Ada satu cara..." ejanya dalam hati.

Ia hanya punya satu kesempatan.

"Hanya satu, dan harus berhasil,"  ulangnya pada diri sendiri.

Sumayyah menutup matanya, ia sebutkan nama Dzat yang selalu ada dalam doanya.

"yaa Rabb, jadikan ini batu kami yang terakhir...  Batu yang dengan izinmu, bisa membuka jalan kami untuk pulang... "

Ia tarik nafasnya dalam-dalam, lalu ia merangkak ke sebrang perlahan.

Sudah setengah jalan.

Sumayyah bisa merasakan krikil kecil menusuk-nusuk telapak tangannya tapi ia tak bergeming. Ia terlalu tegang untuk mengira-ngira dimana saja ranjau pernah diletakkan.

Dengan ketekunan dan gerak tanpa suara, ia berhasil mencapai reruntuhan. Secepat kilat ia berlari ke arah bilik yang ia tuju. Sesampainya di bilik, ia berlari ke arah batu besar.

Dengan tangan kurusnya, ia dorong batu besar itu karena tepat di bawah batu, ada benda penting yang bisa membuat kaumnya menang.

"Untuk apa ini?" Sumayyah menimang-nimang pager lusuh berwarna hitam.

"berjaga-jaga, kalau nanti kita ketahuan,"

"Hm. Kau tau kan aku ini perawat?"

"lantas?"

"Aku tak mau melanggar sumpahku dengan memegang benda itu," ia menunjuk pistol kecil yang digenggam adiknya.

"kau tak perlu memegangnya, ini kusiapkan untukku."

"lalu kenapa kau menunjukan ini semua?"

"..."

Sumayyah menarik nafas, matanya panas.

Terjawab sudah mengapa Basyeer tak meneruskan percakapan mereka saat itu. Hal terburuk selalu terjadi saat perang. Ia baru saja kehilangan adiknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah baba, umma, Ahmed, dan Tsuraya kecil meninggal di dalam rumah mereka.

Dengan tangan gemetar, Sumayya mengetik deretan angka yang bisa menyelamatkan banyak nyawa pasukannya.

35.550 37.067 06:00PM

Tuntaslah tugasnya. Dikuburnya kembali pager dan pistol di bawah batu. 

Sumayyah terpejam.
Ia terdiam. menunggu.

---

Sumayyah binti Khayyat, syahid pertama dalam islam. Sumayyah adalah budak kulit hitam Abu Hudzaifah bin Mughirah. Ia adalah salah seorang pemeluk islam di awal kerasulan Nabi Muhammad. Ia meninggal  disiksa kaum Quraish dengan dikubur pasir panas dan ditimpa batu karena memilih iman di atas nyawanya.
cerita sebelumnya

Uqail

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun