Matahari belum menampakkan semburatnya di ufuk. Suasana masih gelap, namun langit mulai mengaba bahwa sahar telah tiba.
Perlahan angin turun dari atas bukit membawa hawa dingin ke pemukiman. Di sana ia berdiri. Di depan sumur, Menjauhkan diri dari kemah mengharapkan kesunyian.
Uqail membasuh wajahnya. Dibiarkannya air dingin menusuk pori-porinya, mengalir perlahan dari dahi, ke mata, hidung, bibir hingga menetes di ujung dagu.
Otaknya mengeja. Indonesia, Mesir, Suriah, Yaman, Malaysia, Jordania, Turki... Afganistan, Pakistan, Lebanon, mereka sudah di posisi masing-masing. Ia akan berangkat dari teluk, mendekat lewat jalur darat, lalu pangkalan utama akan dikepung. Begitu bala bantuan musuh datang, pasukan susulan miliknya akan memenuhi udara, mengepung di belakang mereka.
Ia telan ludahnya yang tak seberapa, tenggorokannya kering. Ditangkupnya kembali air dari bejana. Ia basuh kembali mukanya, tapi ternyata hal itu hanya membawa benak Uqail pergi mengenang wajah seseorang yang ia temui di mimpinya.
Seketika rasa penuh kembali datang membanjirinya. Ia sesap perasaan itu, Ia tahu bahwa ini adalah rasa berani dan yakin yang dikirimkan Tuhannya.
Pagi ini adalah pagi besar, pagi yang akan menjadi sejarah dan batu terakhir yang dilempar ia dan kaumnya ke tank musuh. Pagi yang dengan izin Tuhan, akan menghantarkan ia keluarganya kembali ke rumah.
Sayup-sayup terdengar iqomah dari kamp. "Ashadu anna Muhammadarasulullah...."
Tiba-tiba runtuhlah tembok pertahannya. Uqail jatuh terduduk, ia biarkan tenaganya diangkat udara, ia biarkan kekuatan yang menarik badannya, ia sungkurkan wajahnya ke tanah. Ia tempelkan dahinya lekat-lekat ke hamparan rumput dan kerikil. Di situ, Uqail menangis sejadi-jadinya.
Ia terisak keras.
Dari dalam hati, ia gumamkan doa kepada Tuhan untuk menyampaikan suaranya kepada seseorang... seseorang yang membuat dadanya bergemuruh penuh keberanian, seseorang yang telah lama ia rindukan.
"1400 tahun sejak kepergianmu... sudah ribuan tahun sejak kau meninggalkan kami, telah banyak yang terjadi..." bisik Uqail ke arah kerikil kecil di bawah wajahnya. "Ingin kuceritakan semua, ingin kuadukan semua, tentang apa saja yang menimpa kami, tentang perjuangan kami, tentang ribuan nyawa saudara kami-saudari kami....
tentang tanah kami, tanahmu, tanah Ibrahim, tanah Sulaiman..." lanjutnya serak.
"Sungguh, kalau lah kau bisa kembali,
barang satu jam...
satu menit...
satu detik...
kalau lah engkau masih bersama kami..." ia hentikan kalimatnya, ia biarkan doanya menggantung di situ. Dadanya makin berat.
Uqail terdiam. Lama.
Begitu tenang, ia lanjutkan ceritanya ke seseorang yang ia harap, atas izin Tuhannya, tengah mendengarkan. Ia telan rasa sesaknya, "Ini bukti dari syahadah kami, kepada Tuhan kami dan kepadamu... Dengan izin Tuhanku, akan kurebut kembali Al Quds... tunggu aku yaa kekasih Allah,"
Lalu pagi itu, ketika matahari berada di separuh jalan, suara dentuman bergemuruh di langit Al Aqsa.
--
Abu Uqail, seorang pejuang zaman Rasulullah. Ia meninggal di perang Yamamah dengan jari menunjuk ke langit. Di awal perang Yamamah, Abu Uqail sudah mendapatkan 2 luka anak panah dan dibawa ke tenda. Namun ketika Rasulullah memanggil kaum Anshor, ia kembali berdiri dan ikut berperang dalam keadaan sekarat. Akhirnya, setelah berhasil menumbangkan banyak musuh, Abu Uqail meregang nyawa dan kembali ke Rab-nya dengan terhormat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H