Mohon tunggu...
nurlailafatmazahra
nurlailafatmazahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

-pretty and profitable-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hikmah dalam Setiap Tegukan Kopi

2 Desember 2024   19:18 Diperbarui: 2 Desember 2024   22:18 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, langit masih gelap meskipun jam menunjukkan pukul tujuh. Angin dingin menyapu wajah Luqman saat ia melangkah masuk ke warung kopi kecil di pinggir jalan yang sudah familiar. Di warung inilah ia sering mencari ketenangan setelah berjam-jam terjebak dalam kesibukan kuliah dan tugas yang seakan tak ada habisnya. Di sini, setiap tegukan kopi terasa lebih dari sekadar menghilangkan rasa haus. Setiap cangkir menyimpan ketenangan yang sulit ia temui di tempat lain.

Warung kopi milik Bu Amina, wanita tua yang selalu menyambut tamu dengan senyum ramah, sudah menjadi tempat pertemuan bagi banyak orang. Bu Amina adalah sosok yang dikenal dengan kebijaksanaannya, meski ia tak banyak berbicara, setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan mengandung makna yang mendalam. Bu Amina selalu mengajarkan pelajaran hidup dalam bentuk yang paling sederhana, seperti secangkir kopi yang diseduh dengan penuh perhatian.

Luqman memilih tempat duduk di pojok dekat jendela, tempat favoritnya. Dari sana, ia bisa melihat suasana pagi yang mulai cerah. Bu Amina menghampirinya dengan senyum lebar dan sebuah cangkir kopi hitam pekat di tangannya.

"Kopi spesial pagi ini, Nak. Buat kamu yang lagi capek mikirin tugas," kata Bu Amina sambil meletakkan cangkir di depan Luqman.

Luqman tersenyum, merasa hangat di hati meskipun pagi itu terasa dingin. "Terima kasih, Bu. Kayaknya memang saya butuh kopi hari ini. Tugas-tugas ini bikin kepala pusing," jawab Luqman sambil memandangi cangkir kopi di hadapannya.

Bu Amina duduk di kursi sebelah Luqman, matanya yang penuh ketenangan menatapnya dengan lembut. "Memang, hidup ini penuh dengan tugas dan ujian. Tapi, seperti kopi ini, hidup juga membutuhkan proses. Kalau kita sabar dan menikmatinya, kita akan menemukan makna di balik setiap kesulitan."

Luqman mengernyitkan dahi. "Maksudnya, Bu?"

Bu Amina tersenyum tipis. "Ingatlah hadis Nabi yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya yang apabila melakukan sesuatu, ia melakukannya dengan sebaik-baiknya.' Kopi ini, meskipun terlihat pahit, memiliki kenikmatan yang tak bisa dirasakan begitu saja. Sama seperti hidup. Terkadang, kita merasa segala sesuatunya sulit dan tak ada yang berjalan sesuai rencana. Namun, jika kita sabar dan ikhlas, segala sesuatunya akan menemukan jalan."

Luqman pun menundukkan kepala, merenung. Ia teringat betapa sering ia merasa tertekan dengan berbagai tuntutan kehidupan. Kuliah, tugas, dan harapan orang tua yang kadang membuatnya merasa seperti berlari tanpa henti. Ia selalu terfokus pada tujuan akhir, padahal proses yang ia lewati mungkin jauh lebih berarti.

"Seperti kopi ini," lanjut Bu Amina, "ketika kita menyeduhnya dengan sabar, kita akan mendapatkan rasa yang lebih nikmat. Terkadang kita harus menghadapi kesulitan dulu sebelum menikmati hasilnya. Sama seperti hidup. Kesulitan dan ujian bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses yang membuat kita lebih kuat."

Luqman menatap cangkir kopi di tangannya. Ia mulai meresapi kata-kata Bu Amina. Betapa sering ia mengeluh dan merasa terbebani oleh rutinitas sehari-hari. Ia lupa bahwa dalam setiap langkah dan setiap proses, ada hikmah yang bisa dipetik. Bu Amina selalu mengingatkannya untuk tidak terburu-buru, untuk tidak hanya fokus pada hasil akhir, tetapi menikmati perjalanan yang ia tempuh.

"Bu Amina, kadang saya merasa capek sekali. Rasanya, waktu begitu cepat berlalu dan saya selalu berusaha mengejar segala hal tanpa sempat merasakannya," kata luqman dengan nada yang lebih pelan.

Bu Amina mengangguk pelan. "Saya paham, Nak. Tapi ingat, kita tidak bisa menghentikan waktu. Yang bisa kita lakukan adalah memilih bagaimana kita menjalani waktu itu. Hidup ini bukan tentang cepat atau lambat, tapi tentang bagaimana kita menikmati setiap detiknya dengan penuh makna."

Luqman pun terdiam, mendengarkan kata-kata Bu Amina dengan serius. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu terfokus pada pencapaian. Ia mengejar nilai, tugas, dan cita-cita tanpa benar-benar menikmati momen-momen kecil yang hadir di sekitarnya. Seperti kopi yang diseduh, hidup membutuhkan waktu dan kesabaran agar bisa dinikmati dengan penuh rasa syukur.

Bu Amina pun melanjutkan, "Sama seperti saat kamu meminum kopi ini. Mungkin pertama kali terasa pahit, tapi seiring waktu, kamu akan merasakan kehangatannya. Begitu juga dengan hidup. Tidak semua hal yang datang itu mudah atau manis. Terkadang, ada pahit, ada asam, tapi justru di situ kamu akan belajar banyak hal."

Luqman menatap kopi yang ada di tangannya. Ia mulai merasa lebih tenang. Mungkin selama ini ia terlalu terburu-buru mengejar tujuan, tanpa memberi waktu untuk menikmati proses yang sedang dilalui. Seperti halnya kopi yang membutuhkan waktu untuk menjadi nikmat, hidup pun membutuhkan waktu untuk bisa dipahami dengan benar.

"Apa yang harus saya lakukan, Bu?" tanya luqman , seakan mencari petunjuk.

"Cobalah untuk lebih sabar dan bersyukur dalam setiap langkahmu. Jangan terburu-buru mencapai tujuan, karena tujuan itu tidak akan pernah berhenti. Yang lebih penting adalah bagaimana kamu menjalani setiap momen dengan penuh rasa syukur dan sabar. Setiap detik yang kamu jalani itu berharga, Nak Luqman. Nikmati perjalananmu."

Luqman pun mengangguk, merasa sedikit lebih ringan. Ia kembali memandangi cangkir kopinya. Setiap tegukan kali ini terasa lebih nikmat, lebih penuh makna. Ia menyadari bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan pembelajaran. Seperti kopi yang diseduh dengan sabar, hidup pun harus dijalani dengan penuh ketekunan dan keikhlasan.

Saat ia selesai menyesap kopi terakhirnya, Luqman berdiri dan mengucapkan terima kasih padaBu Amina. "Terima kasih, Bu. Saya merasa lebih tenang sekarang."

Bu Amina pun tersenyum, senyum yang penuh makna. "Jangan lupa,Nak Luqman. Seperti kopi ini, kamu juga harus sabar dalam menjalani hidup. Nikmati setiap tegukan, nikmati setiap langkah. Karena setiap langkah itu berharga."

Luqman pun meninggalkan warung kopi dengan langkah yang lebih ringan, hatinya terasa lebih lapang. Ia menyadari bahwa hidup bukanlah tentang cepat atau lambat, tetapi tentang bagaimana kita menikmati setiap detik yang ada. Seperti kopi, hidup membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan yang terpenting, rasa syukur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun