Ketika sampai di halaman ini, aku sudah masuk kerja H-2 setelah libur lebaran 2013. Kantor masih sepi, sebagian masih cuti, sebagian yang lain sedang rapat di luar kota. Kali ini aku mau cerita tentang liburanku. Siapkan nafas panjang karena ceritaku juga akan panjang. Liburan lebaranku kali ini berjalan lancar sesuai rencana. Aku libur 3-12 Agustus 2013. Liburanku selama 10 hari itu menempuh rute Depok-Jakarta-Bandung-Kebumen-Jogja-Jakarta-Depok. Saat aku merencanakan liburan untuk mudik ke kampung halaman, aku sedang sakit. Habis pingsan di kantor karena hemoglobin dan tekanan darahku terlalu rendah. Juga, selaput rongga hidungku tipis, aku tidak bisa kena matahari terlalu terik atau terkena AC terlalu dingin, bisa berkunang-kunang dan mimisan. Bepergian jauh sendirian menjadi satu hal yang bikin aku was-was. Tadinya mau mudik bareng masku naik mobil, tapi karena jadwal libur kami berbeda, jadi aku persiapan beli tiket perjalanan sendiri dari ibukota menuju desa terpencil di pesisir pulau Jawa bagian selatan. Aku bukan akan menceritakan kondisi kesehatanku. Intinya, dalam kondisi badan ngedrop aku harus memperhitungkan detail setiap hal yang akan kutempuh. Termasuk mengusahakan ada teman yang kukenal dalam perjalanan. Kalaupun tidak ada, memastikan tempat transit dari satu moda ke moda berikutnya aman dan menghindari jalan jauh. Sabtu siang, 3 Agustus 2013, aku dari Depok menuju Jakarta Selatan diantar oleh ponakanku naik motor menuju pool travel. Aku telah memesan tiket travel Cipaganti rute Jakarta-Bandung via telepon beberapa hari sebelumnya. Harga tiket Rp. 95 ribu. Perjalanan travel dari Lenteng Agung menuju Gedebage (Bandung) lancar jaya hingga pintu keluar tol Buah Batu. Setelah keluar tol, jalanan kota Bandung cukup macet. Perjalanan ditempuh kurang lebih 3,5 jam. Aku dijemput teman di pool travel Gedebage, lalu menuju kontrakannya di lereng pegunungan. Temanku itu kawan sekelas di SMA, tentu saja seorang perempuan dan sama-sama akan mudik ke Kebumen. Aku sengaja mencari teman seperjalanan, makanya kuusahakan ke Bandung. Rencanaku dan dia akan pulang bareng esok harinya menggunakan bis ke Kebumen. Seminggu sebelumnya kami sudah beli tiket bis tiap kursi seharga Rp. 200 ribu. Aku menginap di Bandung, di daerah suhu rendah dan dataran tinggi yang aku lupa namanya. Tak terlupakan kebaikan temanku yang bersedia menjemputku, padahal dia harus menempuh jalan tanjakan dan berkelok lereng pegunungan, naik motor! Sore berikutnya, Minggu 4 Agustus 2013, aku dan dia melaju ke terminal Cicaheum, Bandung, diantar motor oleh teman-teman sekontrakan temanku. Bis kami siap berangkat menempuh perjalanan malam panjang. Untuk menambah zat besi tubuhku, sebelum berangkat aku merebus bayam sebagai bekal perjalanan. Karena masih bulan Ramadhan, kami sore itu buka puasa di bis. Salat maghrib pun di bis. Lama sekali aku tak melakukan tayamum sampai lupa caranya tayamum. Jadi kuhubungi temanku untuk memastikan rukun tayamum. Karena tak ada debu yang bersih, maka telapak tangan di tempelkan di jok kursi depanku. Lalu mengusap wajah dan kedua lengan tangan hingga siku. Setelah salat dalam bis, aku baru ingat kalau bis yang kunaiki ada toiletnya! Mustinya bisa wudhu di sana. Sepertinya aku belum pernah menggunakan toilet bis, sekalipun! Eentah kenapa dalam pikiranku selalu merasa semua bis tak ada toiletnya. Maklum, biasa naik angkot. :p Dini hari kami bangun untuk sahur di bis. Meskipun bis sempat berhenti di pool yang ada rumah makannya, tapi antri toiletnya panjang mengular, hampir 35 menit hanya untuk mengantri kamar mandi. Sayangnya banyak orang yang tidak sadar budaya antri. Sampai berkali-kali aku perlu mengingatkan orang untuk tertib dalam antrian. Kalau dibiarkan, sekian orang seenaknya main serobot. Tempat antrian yang cukup sempit itu sesak dipenuhi orang-orang, ruang itu makin terasa pengap. Parahnya lagi, dalam tempat demikian, ada saja yang merokok. Merokok mungkin hak setiap orang, tapi menghirup udara bersih juga hak setiap orang. Merokok di sembarang tempat adalah menciderai hak orang lain untuk menghirup udara bersih. Negara ini sudah merdeka 68 tahun, tapi saat itu aku merasa belum merdeka. Asap-asap itu menjajahku semena-mena. Hwaaaa! Perjalanan malam itu termasuk lambat, tapi macetnya tak terasa. Mungkin karena aku lebih banyak tidur. Sampai di Soka Baru, Kebumen, sekitar pukul 6 pagi. Lama perjalanan sekitar 12 jam. Perjalanan normal Bandung-Jakarta menggunakan bis biasanya 7 jam. Di Soka Baru, temanku dijemput sodaranya. Aku jalan kaki sendiri menuju Pom Bensin untuk cari toilet dan musola, cuci muka, bersih-bersih dll. Bersih-bersih badan sendiri lhoh, bukan bersih-bersih toilet. Hehe. Di musala sempat ngobrol dengan sesama pemudik yang sedang istirahat. Di pinggir jalan, orang-orang berderet menawarkan ojek. Selain ojek, ke kampungku bisa ditempuh dengan becak motor. Akhirnya aku pilih naik ojek. Sebenarnya lebih suka naik becak, dramatik mudiknya makin kerasa. Tapi untuk mencapai becak musti nyebrang jalan ramai. Agak ribet mencapai ke becaknya. Perjalanan menuju kampung halamanku pagi itu cukup lengang. Jalan yang kulewati beraspal mulus, kanan kiri sawah menghampar nampak sisa tanaman padi baru saja dipanen, dan pohon-pohon asem tua berderet-deret di bahu jalan. Matahari baru saja muncul dan udara pedesaan yang segar membuat rute pagi yang hikmad itu terasa sangat singkat. Dengan laju tinggi, hanya 15 menit mencapai rumahku. Harga ojek Rp. 25 ribu. Cukup mahal, harga lebaran semua serba sekian kali lipat dari biasanya. Sampailah aku di kampung halaman tercinta, di rumahku, pada Senin 5 Agustus 2013. Tepatnya di rumah orangtuaku. Kedua orangtuaku sudah meninggal. Rumah itu ditempati oleh seseorang yang dulu membantu keluargaku mengasuhku saat kecil. Sampai rumah, aku mengecek segala perabotan dan isinya. Ternyata bajuku yang sudah berbulan-bulan di lemari dan jarang dibuka kini dihinggapi rayap. Maka seharian dan setengah hari berikutnya, waktu kuhabiskan untuk mencuci baju dua lemari! Siang berikutnya, Selasa, 6 Agustus 2013 aku menghadiri reuni kecil dengan teman-teman SMA. Sebelumnya aku memang bikin pengumuman di status Facebook dan grup BBM khusus teman SMA seangkatan, untuk reuni kecil. Alhamdulillah ada 9 yang datang. Ada di antaranya telah 13 tahun berpisah baru kali itu berjumpa lagi. Di antaranya seorang perempuan redaktur Kebumen Express yang sejak lulus SMA baru kali itu kami saling berjumpa lagi. Kebetulan kami sesama wartawan, jadi rasanya menemukan diriku di wajah yang lain. Selama ini kami telah menjalin interaksi virtual. Saat di kota Kebumen, jangan lupa mencoba makanan bernama golak, gorengan yang terbuat dari tepung (kasar) singkong. Serenteng berisi 10 potong harganya Cuma Rp. 3000. Bisa ditemukan di depan toko Mantep atau di alun-alun juga ada. Aku sempat jalan-jalan di sepanjang trotoar mencari sol sepatu. Sepatu sandalku perlu dijahit. Biaya sol sepatu Rp. 3000 juga. Untuk yang terakhir penting bangetkah ditulis? Huahaha. Rabu, 7 Agustus pagi, aku membeli ayam jago kampung. Bukan aku yang beli ke pasar, tapi nitip orang rumah untuk mencarikan. Harganya cukup murah dibanding di Jakarta. Ya iyalah. Cuma Rp. 101.500. Sorenya ayamnya lepas dari kurungan. Hwaaa, toloooong! Ups, tapi untungnya bisa ditangkap setelah dikejar Yu Opah, orang yang jaga rumahku. Ayam itu rencananya akan dimasak buat besek untuk dibawa ke masjid esoknya saat Idul Fitri pagi. Di kampungku ada tradisi tiap keluarga membawa besek berisi nasi dan lauk pauknya minimal 5 kotak atau sebanyak jumlah anggota keluarga. Paginya dibawa ke masjid. Usai salat Ied, pulang dari masjid, kami masing-masing mendapatkan besek yang lain. Intinya orang sekampung saling tukar makanan. Hehe. Sorenya, semua orang telah menyiapkan zakat fitrah berupa beras 2,5 kilogram untuk dibagi kepada yang berhak. Selain itu, bagi yang rizkinya berlebih berbagi uang dan parsel kepada mereka yang membutuhkan. Rizki yang kita peroleh dari Tuhan, tidak semua milik kita, ada bagian milik mereka yang membutuhkan, jadi harus dibagikan. *ustadzah mode on!* Saat berkeliling rumah-rumah di kampungku, kesanku tiap tahun semakin berubah maju. Kini hampir semua rumah berdiri dengan tembok beton. Orang bilang “rumah gedongan.” Dulu saat aku kecil, sebagian besar rumah mereka berdinding anyaman bambu atau seng dan lantainya tanah. Gaya hidup yang sederhana dan keinginan yang sederhana. Dulu, satu RW hanya ada satu TV, kini setiap rumah punya televisi. Ketika rumah dari semen dan pasir masih sangat jarang di sana, rumahku salah satu yang terbilang cukup memadai dengan lantai dari tegel. Kini, rumahku termasuk yang paling usang, dinding retak, cat tembok memudar, lumut tumbuh di banyak sisi, dan lantai yang ketinggalan jaman. Roda hidup memang berputar. Aku sempat berpikir kelak ingin membangun rumah itu jadi megah seperti istana. Hoho. Ups, tapi ibuku pernah bilang bikin rumah di desa jangan terlalu mencolok berbeda dengan tetangga sekitar. Agar jangan nampak kesenjangan. Setiap ada kesempatan, di sana aku coba meretas jalan kesunyian untuk mendengarkan suara-suara terlirih. Mendengarkan curhat ibu-ibu rumah tangga yang penghasilannya Rp. 20 ribu dalam tiga hari. Sebagian besar penduduk di sana bekerja sebagai buruh sawah atau buruh pabrik genteng. Kerja di sawah termasuk kerja musiman. Saat tak ada kesibukan di sawah, para perempuan dewasa bekerja membuat anyaman bambu. Mereka membeli bambu lalu dibersihkan kulitnya. Kemudian dipotong-potong memanjang dan dijemur. Lalu disuwir atau dibelah tipis-tipis dan dijemur lagi. Selanjutnya diperhalus alias dikerok dan dijemur lagi. Tahap terakhir dianyam. Butuh waktu 3 hari untuk menghasilkan 10 lembar anyaman. Perlembar dihargai Rp. 2000. Lembaran anyaman ini dijual ke desa lain untuk dibuat topi petani. Jadi produksi akhir topi petani bukan di desaku, melain desa tetangga sana. Konon topi itu dikirim ke berbagai kota dan bahkan diekspor. Pagi berikutnya, hari raya Idul Fitri jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013. Aku salat Ied di masjid jami’ cukup dekat dengan rumah. Karena aku datang kepagian, aku berada di barisan orang-orang tua. Itu artinya aku harus siap berbicara bahasa jawa halus. Tepatnya bahasa ngapak halus. Karena khawatir keliru ngomong, aku malah jadi tersiksa. Haha. Parahnya lagi, saat berangkat ke masjid, aku ambil mukena seadanya. Sampai di sana, mukenaku berwarna pink sendiri, yang lainnya putih. Kalau di kota, mukena warna warni itu biasa. Tapi di kampung, aku jadi nampak seperti kelinci di barisan bebek, alias “berbeda.” Duh! Hari pertama lebaran keliling ke tetangga dan keluarga dekat. Malamnya, masku yang sulung dan keluarganya datang dari Jakarta. Rumah jadi ramai. Hari kedua lebaran, Jumat, 9 Agustus 2013, aku berkunjung ke keluarga pihak bapak, tetangga kecamatan. Sekaligus mampir ke rumah teman-teman lama. Dua hari full silaturrahim. Meski lelah tapi senang. Malamnya, badanku sempat ambruk saat ngumpul sodara di rumah Uwa (budhe). Ini karena sebelumnya aku kena terik matahari dan jalan jauh keliling kampung. Badanku panas, aku dibawa berobat ke klinik bidan oleh para sepupu dan ponakan. Sampai di sana, ada pasien antri sebanyak 24 antrian. Itu artinya aku perlu menunggu sekian jam. Kami coba cari bidan lain. Di tempat bidan lain ternyata belum buka praktek, masih libur lebaran. Btw, di desa jarang sekali dokter, jadi untuk pengobatan mengandalkan bidan atau malah dukun. Hehe. Lalu kami kembali ke bidan yang awal. Entah dengan negosiasi bagaimana sepupuku berhasil membuatku segera diperiksa. Ternyata, di tempat pengobatan itu, suami istri bidan. Istrinya sepertinya tadinya sedang istirahat, tidak buka praktek, tapi karena banyak pasien jadi ikut turun tangan. Aku dikasih obat demam dan vitamin B1, B2, B3 sampai B100. Ups, kidding! Pokoknya vitaminnya banyak! Hari ketiga lebaran, Sabtu, 10 Agusutus 2013, ada haul keluarga besarku dari garis ibu. Aku adalah cucu paling muda. Cucu satu-satunya yang belum nikah. Pertanyaan “kapan nikah?” sudah lebih dari 100! Huahaha. Bertemu puluhan kerabat. Selain silaturrahim, juga ziarah kubur ibu, bapak, simbah, dan sodara-sodara yang telah meninggal. Acara ngumpulnya di rumah dan langgar (surau) kami. Senang sekali bertemu dengan kerabat. Kini sudah banyak yang sarjana. Dulu, keluarga besar kami lebih mendahulukan pendidikan pesantren dan kurang diimbangi pendidikan (tinggi) formal. Sehingga saat terjun di masyarakat banyak yang masih kurang skill dalam memperkuat ekonomi. Kini, generasi berikutnya menurutku semakin maju, karena selain pendidikan pesantren juga diupayakan untuk kuliah. Di antaranya ada yang hafal alquran sekaligus sarjana. Dan PR kami masih banyak. Termasuk aku juga belum apa-apa, masih mencari-cari jati ini bagaimana mengisi hidup ini sebaik-baiknya. Tsaaaah! :p Sorenya, reuni kecil lagi, reuni SMA di rumah teman di Dorowati. Teman yang berbeda dari reuni sebelumnya. Senang sekali bisa ketemu teman-teman lama. Mendengarkan kisah perjuangan teman-teman menjadi guru honorer di kota kecil. Salah satu kisah, suatu hari ia menerima amplop gaji berisi daftar panjang berbagai potongan bulanan dari tempat ngajar dan sisa uang senilai beras 3 kilogram. Hiks. Selama ke sana ke mari, aku tak naik motor sendiri, tapi ada seorang saudaraku yang baik hati mengantarkanku kemana saja. Aku belum berani naik motor jauh. Aku makin menyadari betapa kehadiran saudara-saudara ini sangat berarti. Oh iya di sekitar rumahku, ada pohon kelapa berderet di samping rumah. Kelapa muda bisa dipetik kapan saja. Juga ada buah jambu yang sedang berbuah lebat. Aku sempat mencicipinya. Nyam! Oh ya, di kampungku itu area 'fakir bandwith' alias sunyah sinyal. Sekedar balas sms saja perlu lari ke sawah. Perlu naik pohon kelapa untuk terima sms atau telpon. :D. Sekarang agak mendingan, kadang nemu sinyal di ruang tamu, kadang hilang. Sudah kayak hantu aja, antara ada dan tiada. Dulu lebih parah. HP sekeluarga dimasukkan ke kresek lalu ditali ke ujung galah untuk dinaikkan ke atap. Setelah terdengar banyak dering sms, baru diturunkan. Saking pelosoknya, temanku bilang desaku tak tercatat di peta. X_X Hari ke-4 lebaran pagi, 11 Agustus 2013, aku ke Kutoarjo diantar sodara naik motor. Rencananya pagi itu aku mau ke Jogja naik kereta prameks. Kereta prameks tidak ada di stasiun Kebumen, jadi musti ke Kutoarjo. Tapi masku yang sedang di rumah mertuanya menghubungiku untuk mampir ke sana, di Kebumen bagian kota. Aku pun mampir ke sana, lalu perjalanan ke stasiun dilanjut menggunakan mobil masku. Ternyata, lalu lintas menuju Kutoarjo padat merayap. Perjalanan mobil tidak segesit motor. Baiklah, aku jadi menikmati Kebumen lebih lama. Sebelum mudik aku sudah beli tiket kereta balik ke Jakarta, rute Jogja-Gambir untuk hari itu (11 Agustus 2013) pukul 23 malam, harga Rp. 550 ribu. Pinginnya sih dapat kereta yang lebih murah, tapi susahnya cari tiket murah menjelang lebaran. Bisa dapat tiket kereta saja sudah beruntung karena tiket penuh dimana-mana. Dua minggu sebelum lebaran kereta rute Kebumen-Jakarta sudah habis. Keretanya tak berhenti di Kebumen, jadi aku harus ke Jogja dulu. Kebetulan juga, siang itu ada acara reuni syawalan kampus. Saat di stasiun Kutoarjo, ternyata kereta prameksnya telah berangkat 5 menit yang lalu. Akhirnya aku naik shuttle Sumber Alam untuk keberangkatan sejam berikutnya seharga Rp. 45 ribu. Sampai di Jogja, aku janjian sama teman di Tugu untuk urusan tiket kereta ke Jakarta. Teman yang membawa “print tiket sementara” dan KTP. *siap-siap putar lagu Yogyakarta-Kla Project* “Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu,” suara mas Katon Bagaskara serasa hadir di dalam shuttle yang kunaiki. :p Shuttle Sumber Alam tak berhenti di Tugu, jadi ke sana aku musti naik ojek atau taksi. Masa liburan, Jogja jadi macet, kalau tidak membawa bawaan banyak, lebih efektif naik ojek. Aku turun entah di mana, kok bisa ya aku lupa namanya, padahal pernah bertahun-tahun di Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H