Oleh: Nurlaeli Umar
Nomor: 7
“Kamu itu tidak menghormati pahlawan, jika nilai matematikamu cuma dapat empat!”
Itu adalah reaksi di luar dugaanku, aku hanya diam saja. Kakek terlalu berlebih, apa hubunganmnya antara nilai empat dan pahlawan. Aku tidak sedang berperang melawan tentara mana pun, dan aku juga tidak pernahn merendahkan pahlawan-pahlawan yang kutahu dari pelajarn IPSdi sekolah.
Aku masih mengingat kalimat itu hingga saat ini. Kakek sudah berpulang cukup lama. Tapi kalimat itu masing terngiang, apa lagi saat kulihat wajah kakek di photo berbingkai kayu itu.
Kakekku memang beda, dari raut wajahnya saja terlihat berkharisma. Wajah kakek terlihat bersih, sebersih hatinya sepanjang yangaku tahu.
Biasanya beliau menceramahiku atau sesekali berkisah tentang masa-masa beliau bergerilya. Bahkan kekak pernah bercerita bertemu dengan Jendrak Sudirman dan tokoh-tokoh lainnya, meski kakek bukan orang penting.
Jadi terbayang, apa dulu para pemimpin sedemikian dekat dengan rakyat?
sambil menghadapi kopi dan singkong rebus cerita itu mengalir menyisakan jejak-jeka kekaguman dan ingin meneladaninya. Cuma menurutku kakek sedikit kolot,karena hingga akhir hayatnya beliau dalam makan pun sederhana bahkan kakek tidak menyukai makanan serba instant dan kekinian.
“Singkong sama kopi sudah cukup mewah buatku,” begitu ujarnya.
“Kok bisa Kek?”
“Lha iya, zaman dulu merebut kemerdekaan, kakek harus bertemu Londo dan Nipon, bahkan ares pisang saja dimakan buat bertahan hidup.”
“Tapi sekarang kan sudah merdeka?”
“Lha, banjur kalau sudah merdeka berarti lupa diri dan seperti kamu, belajar saja kok malas, apa lagi mengangkat senjata.”
“Tapi kan gak ada hubungannya Matematika sama senjata?”
“Nanti kalau kamu masuk angkatan, kamu baru tahu, bahwa nembak itu tidak sembarangan dan itu butuh Matematika, atau perhitungan.”
Berbincang dengan kakek itu menyenangkan. Aku jadi tertular semangatnya yang sampai tua dan Indonesia merdeka, masih membara.”
Bahkan beliau akan marah besar jika aku tidak menghormati bendera. Maksudku bukan aku tidaklmenghormati, Cuma aku lupa sedikit tehnik melipatnya.
“anak muda sekarang, saat bendera dinaikkan, mereka jalan nyelonong saja, hanya sedikit waktu untuk menghormati sampai bendera diam di ujung tiang saja mereka keberatan. Betapa dulu bendera itu adalah harga diri.”
Saat itu kulihat kakek untuk pertama kalinya menangis di depanku. Biasany beliau yang menengurku jika aku berurai air mata.
“Lelaki itu jangn terlalu banyak menangis, sebab lelaki itu panutan dan pemimpin bagi bangsanya. Harus kuat tahan banting!”
Kakek menurutku adalah tokoh pahlawan sejati. Dia bahkan dengan senang hati merelakan tidak menerima pensiunan sebagai anggota veteran, tetapi mengalihkannya untuk teman-temannya yang kesulitan ekonomi.
“Apa menurut kakek uang itu kurang banyak, dan kakek memprotesnya denga menolak memakainya, tetapi diberikan kepada veteran lain yang tidak terdaftar?
Kakek hanya tertawa, lalu beliau menyambungnya dengan berkata, “Kau belum bisa merasakan artinya perjuanagn jika hanya mementingkan dirimu sendiri.”
Kakek berkisah, bagaimana mereka yang lelaki terkadang bila pergi berperang tidak pernah berpikir untuk bisa bertemu kembali dengan anak istri. Bukan karena tidak setia, tapi karena kemungkinan besar gugur di medan laga.
Bagi mereka makan seadanya dan hidup dengan keadaan yangsengsara tidak lagi dirasakan sebagai derita, bagi mereka yang terpikir hanya berjuang bagi negaranya.
Betapa setiap hari harus tahan menghadapi berita duka, apa lagi jika pihak penjajah menyerbu persembunyian dengan tembakan dan bom dari pesawat.
Bagi kakek perjuangan yang telah dilakukan adalah kewajiban, tapi setidaknya aku yang menjadi cucunya tidak lantas hidup bermalas-malasan.
“Anak muda harus semangat, kelak kamu yang harus meneruskan perjuangan. Berjuang setelah kemerdekaan tidak lebih mudah dari masa kakek dulu.”
Gugur Bunga
Pengarang / Pencipta Lagu : Ismail Marzuki
Betapa hatiku tak akan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku tak akan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini pelipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti
Gugur bungaku di taman hati
Di haribaan pertiwi
Harum semerbak menambahkan sari
Tanah air jaya sakti
Pembela bangsa sejati
Butiran air mataku terjatuh membasahi bingkai, “Kakek semoga engkau damai di sana, aku merindukanmu. Merindukan kau mengobarkan semangat patriotisme di dadaku”
#Fiksi Hari Pahlawan
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi hari Pahlawan.link: http://www.kompasiana.com/androgini].
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community. [link: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H