Hilal telah tampak. Ada rasa haru dan bahagia berbaur menjadi satu. Rasa haru karena, alhamdulillah aku bisa menyelesaikan ibadah saum di tengah pandemi corona dan ibadah ini, aku jalani tanpa ayah dan ibuku hanya ditemani nenek yang sudah renta.
Bahagia karena aku bisa menuntaskan saum ini dengan makan nasi sekali sehari itu pun saur saja karena nenekku tidak bisa sering-sering keluar mencari plastik-plastik mineral untuk dijual ke pengepul. Nenekku takut corona ada di mana-mana.
Dan yang membuat aku bahagia adalah menghadapi lebaran esok hari walaupun tanpa baju lebaran, sarung, baju koko, sandal atau sepatu baru.
Biarlah lebaran ini aku tidak memakai pakaian baru yang penting rasa bahagia ini yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Lihat nenek masih sehat saja aku sudah bersyukur.
Tahun-tahun yang lalu, aku selalu punya baju, sepatu, peci, sarung baru karena tetangga sebelahku Pak Ridwan masih bekerja di perusahaan, dan beliau selalu membelikan aku barang-barang tersebut menjelang lebaran. Beliau orang yang sangat menyayangiku sejak ibu bapakku meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Sekarang Pak Ridwan agak kesulitan ekonomi karena beliau telah dirumahkan sejak merebaknya pandemi ini. Jangankan untuk membantu kami, keluarga beliau saja hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah dan dari tetangga-tetangga yang selalu mengulurkan tangan memberikan bantuan kepada kami keluarga yang serba kekurangan.
"Soleh...gak apa-apa kamu lebaran tahun ini hanya makan ketupat dengan sayur pesor aja ya, Nak, tak ada lauknya," nenek berkata sambil menyeka air matanya yang berjatuhan sambil membelai kepalaku. "nanti kalau nenek sudah punya uang akan nenek belikan lauk ayam, kita buat opor ayam."
Aku tersenyum, sambil mencium tangan nenek, "Nek makan dengan apa pun terasa nikmat, asal nenek sehat dan ada di sampingku."
Aku bereskan piring dan gelas setelah buka bersama nenekku kemudian piring dan gelas kotor aku bawa ke kamar mandi yang ada di belakang rumah nenek. Bukan kamar mandi sih hanya berbilik dari bambu yang sudah lapuk dan penutupnya kain sarung lusuh dan butut, berlantaikan batu-batu. Â Aku nimba air dulu sebelum mencuci piring.
Setelah mencuci piring, aku wudu untuk salat Isya. Aku salat di kamar nenek merangkap kamarku karena hanya ada satu kamar. Rumah kami terbuat dari bilik yang sudah lapuk dimakan usia. Di sana-sini banyak yang bocor. Lantainya masih tanah.
Bersyukur yang penting ada tempat berlindung dari dingin dan panasnya kehidupan ini. Dilanjutkan dengan salat rawatib bada Isya. Kuambil Al Quran untuk melanjutkan juz Amma yang aku hafalkan setiap hari.
Aku bangkit dari dudukku setelah membaca Al Quran, aku buka lemari, kucari sarung dan baju koko lama, untuk salat ied bersama nenek besok. Sekalian aku cari baju yang layak pakai, kutemukan kemeja lama, pemberian ibuku dulu waktu beliau sakit sebelum meninggal.
"Nah ini celananya ada, cocok dengan kemeja ini," aku berkata sendiri sambil kubereskan, kutumpuk baju, celana, baku koko, dan sarung untuk dipakai besok pagi. Rasanya aku gembira sekali, ada pakaian untuk dipakai besok. Biarlah baju baru kusimpan sebagai impian yang akan kukejar, suatu saat kalau aku sudah dewasa, tamat sekolah, aku akan bekerja untuk membahagiakan diri sendiri dan nenek tercintaku.
Karena tidak ada lagi yang akan dikerjakan, aku tidur di samping nenek yang sudah pulas setelah salat. Kubayangkan bagaimana keluarga Pak Ridwan sudah makankah mereka? Pak Ridwan dengan empat anaknya yang masih kecil-kecil, ya Allah mereka sedang kesusahan. Aku tak bisa bantu sedangkan mereka selalu membantu aku dan nenekku.
Aku tidak bisa tidur ketika di luar ada yang mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Aku jawab salam sambil kubuka pintu, ternyata Pak RT dengan jajarannya.
"Belum tidur Soleh?" tanya Pak RT sambil tersenyum dan memberikan bingkisan padaku, "Nih bingkisan, pakaian kamu, mudah-mudahan cukup, ada seorang dermawan yang memberi amanat pada bapak, dipakai ya."
Pak RT yang begitu perhatian kepada kami, juga memberikan paket sembako, dan amplop berisi uang pembagian zakat fitrah untukku dan nenek. Alhamdulillah ya Allah.
Nenek kubiarkan tidur karena sudah pulas. Kasian nenek kecapean setelah membuatkan aku ketupat dan sayur pesor. Kulihat wajah nenek begitu letih. Wajahnya tidak sesuai usia. Nenekku terlihat seperti sudah tua sekali. Padahal usianya 55 tahun.
Nenek mudah-mudahan panjang umur dan diberi kesehatan. Beliau harus melihat aku tumbuh dewasa. Menjadi manusia yang sukses. Insyaallah apa pun kemauan nenek akan kubelikan. Doakan Nek, aku jadi manusia kaya, bisa membahagiakan nenek lahir dan batin seperti nenek menyayangiku. Nenekku pengganti orang tuaku. Nenekku ibu dari ayahku. Sudah lama ditinggalkan kakek sebelum orang tuaku meninggal. Sudah terbiasa dengan penderitaan ini. Beliau orang yang sabar dan ulet, pekerjaan apa pun dijalani yang penting halal.
Lebaran tahun ini yang aku tunggu-tunggu, akhirnya datang juga. Aku masih bisa berlebaran walaupun dengan sederhana, di tengah pandemi ini. Semoga tahun depan, kami bisa bertemu lagi dengan Idulfitri dan tahun depan aku sudah SMP. Aku ingin terus sekolah supaya bisa bangkit dari semua ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H