Mencintai akan selalu bertemu dengan luka atau kecewa. Perjalanan cinta adalah perkara tersakiti dan menyakiti.
Namaku Nungky. Aku ditugaskan sebagai asisten bidan untuk enam bulan di sebuah klinik persalinan di salah satu desa Kabupaten Bandung. Sementara, aku tinggal bersama keluarga ketua desa. Ibu ketua desa sangat baik padaku. Beliau menganggapku seperti anaknya sendiri.
"Nak Nungky sudah makan?" tanya Bu Rahma.
"Sudah Bu, tadi di jalan saya beli nasi goreng," jawabku menghadap wajah Bu Rahma.
"Gimana tadi di klinik?" tanya Bu Rahma sambil menuntun tanganku untuk duduk di meja makan. Bu Rahma menawarkan buah apel yang sudah dikupasnya.
Aku bercerita tentang kegiatanku di klinik. Bu Rahma tampak senang mendengarnya. Beliau hanya tinggal berdua bersama Bapak ketua desa. Anak lelaki satu-satunya tinggal di Jakarta. Bu Rahma sangat kesepian di rumah.
"Oh iya. Anak Ibu mau datang ke Bandung, katanya mau liburan di sini," seling Bu Rahma saat kita sedang mengobrol.
Aku tak menjawab perkataan Bu Rahma. Aku mengangguk dan meminta ijin padanya untuk membersihkan diri dan berisitirahat. Aku akan tidur pulas malam ini, karena besok adalah hari libur.
Suara pintu diketuk keras. Aku terperanjat dan bangun. Aku keluar kamar, dan segera menuju pintu depan.
"Ya. Cari siapa?" tanyaku sambil menggosok mataku yang masih mengantuk.
"Kamu siapa?" tanya seorang lelaki sambil tersenyum.
"Hm. Aku Rival, anak Bu Rahma. Ibu kemana?" tanyanya lagi padaku.
"Oh. Silahkan masuk. Bu Rahma sepertinya sedang pergi ke kota bersama Bapak tadi subuh. Aku berdua bersama Bi Ocih di rumah," jelasku.
Aku tak banyak berpikir saat itu, aku langsung masuk kembali ke kamar, dan melanjutkan istirahatku.
Sore itu di halaman belakang, aku melihat Rival sedang membersihkan motornya yang agak usang karena lama tak terpakai.
"Hai. Motor kamu masih bisa dipakai?" tanyaku menghampirinya yang sedang mengelap motor.
"Bisa. Mau jalan-jalan?" tanyanya padaku.
Aku agak terkejut dengan tawarannya. Rival menyalakan mesin motor dan mengajakku menaiki motornya menuju kebun teh. Aku dibawanya berkeliling kebun teh terdekat. Aku melihat wajahnya tampak bahagia. Wajahnya manis, dengan rambut yang diikat.
"Kamu kerja apa di sana?" tanyaku yang sedang dibonceng.
"Aku desainer. Tapi ingin banting setir, jadi tukang bakso," jawabnya serius.
"Ngaco kamu," kataku. Motor tiba-tiba berhenti. Mesinnya mati.
"Aku serius. Serius sama kamu. Pertama kali kita bertemu, aku langsung menyukai kamu, aku merasa ada sesuatu yang membuatku nyaman dan bahagia dalam hati," ucapnya melihat spion.
"Ah. Kamu kok jadi gombal sih. Aku mau pulang saja," sahutku dengan wajah menunduk.
Dari kejadian itu, setiap hari Rival sering mengantar jemput aku bekerja di klinik. Dia terkadang mengantarkan makanan untukku di siang hari. Aku merasa senang dengan sikapnya yang begitu memperhatikan aku. Aku pun mulai menyukainya dan nyaman bersamanya.
"Aku mau ke Jakarta lagi, Ky,"
"Aku enggak mau berpisah denganmu,"
Rival mengatakan itu dengan suara lirih, selepas waktu aku bekerja di klinik.
Aku akan merindukanmu, batinku berkata.
"Aku akan merindukamu, Ky," kata Rival menatap wajahku lembut.
"Aku pun sama," jawabku dengan mata yang berkaca-kaca.
Keesokan harinya Rival pulang ke Jakarta, namun aku tak bisa menghubunginya lewat gawai. Hatiku mulai khawatir dan sedih. Apa apa dengan Rival?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H