Mohon tunggu...
Nur Kolis
Nur Kolis Mohon Tunggu... Penulis - Saya adalah seorang yang suka belajar

Saya suka menulis untuk memberikan kontribusi positif bagi semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kamu Belum Bahagia Kalau Masih Salah Mengartikan Bahagia

8 Oktober 2024   15:45 Diperbarui: 8 Oktober 2024   15:49 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kamu yakin sudah bahagia...?

(Review Bab 3 buku The Compass karya Henry Manampiring)

Bahagia adalah kata yang sering kita dengar sehari-hari. Beberapa orang ada yang memaknai bahwa bahagia adalah bibir yang selalu tersenyum atau tertawa merekah, hati yang jauh dari kesedihan, hidup yang tidak pernah mengalami kesusahan, atau air mata yang tidak pernah membasahi pipi karena kehilangan hal-hal yang disayangi. Mereka meyakini bahwa bahagia itu adalah perasaan yang selalu senang. Benarkah begitu? Baca tulisan ini sampai tuntas!

Segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki tujuan. Tidak peduli hal kecil atau besar semuanya memiliki tujuannya masing-masing. Tujuan-tujuan yang menjadi dasar seseorang melakukan suatu hal adalah tujuan yang dianggap baik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles bahwa setiap keahlian, tindakan, dan pilihan, semua itu memiliki tujuan yang diyakini baik.

Satu aktivitas yang dilakukan seseorang bisa memiliki banyak tujuan. Misalnya bagi kamu yang sekarang sedang membaca tulisan ini tentu memiliki tujuan. Mengapa kamu membaca tulisan ini? Mengisi waktu luang. Apa pentingnya mengisi waktu luang dengan membaca? Agar wawasan bertambah. Apa manfaatnya menambah wawasan? Agar bisa memahami hidup lebih luas dan tidak kaku seperti kanebo kering dan masih banyak lagi tujuan yang lainnya. Satu aktivitas memiliki banyak tujuan dan tujuan-tujuan tersebut bukanlah tujuan akhir atau tertinggi jika belum mencapai finish. Sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles bahwa tujuan tertinggi adalah tujuan yang paling akhir. Jika sebuah tujuan masih bisa diturunkan kepada tujuan-tujuan yang lain, ia bukanlah tujuan akhir.

 Seseorang yang rela hujan-hujanan bekerja pastilah memiliki tujuan. Mencari uang agar bisa menafkahi keluarga. Keluarga wajib diberi nafkah sebagai bentuk tanggung jawab. Keluarga yang nafkahnya terpenuhi bisa makan dengan cukup. Keluarga yang tidak kekurangan makan bisa hidup dengan sehat, dan begitu seterusnya tujuan itu berantai sampai menuju akhir.

Jika harta, kekayaan, jabatan, ketampanan, kecantikan, terkenal, dan lain sebagainya adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lain, lalu apa sebenarnya tujuan akhir yang ingin dicapai? Jika kamu menjawab bahwa tujuan akhir dari semua aktivitas adalah bahagia. Maka inilah yang disimpulkan juga oleh Aristoteles. Selanjutnya, apa itu bahagia?

Apakah kamu sekarang bahagia? Jika kamu jawab iya, saya akan bertanya lagi mengenai hal apa yang membuatmu bahagia? Mungkin kamu akan menjawab karena keinginanmu tercapai, dapat nilai bagus, dapat hadiah, dan berbagai hal lain yang membuat hatimu berbunga-bunga seperti Tabebuya yang sedang mekar di tepi jalanan kota.

Sekali lagi..

Apakah kamu sekarang bahagia? Jika kamu menjawab tidak, saya juga akan bertanya hal-hal apa yang membuatmu tidak bahagia? Mungkin kamu akan menyebutkan beberapa alasan yang membuat hatimu bersedih. Misalnya motor yang kehabisan bensin di tengah perjalanan, pulsa listrik habis padalah kamu lagi tidak memegang uang, habis kena semprot atasan karena kesalahan, dan berbagai hal lainnya yang intinya tidak kamu sukai.

Jika kita memaknai bahagia hanya sebagai perasaan (feeling) maka kita tak sadar sudah menyempitkan makna kebahagiaan itu sendiri. Selain itu, bahagia yang dipahami sebagai merasa bahagia karena pengalaman yang dirasakan, ini sungguh subyektif dan bersifat personal. Kalau pemahaman kita mengenai bahagia masih seperti ini, bahagia itu rentan dipermainkan keadaan dan tidak stabil. Kebahagiaan tidaklah sama dengan merasa bahagia, begitulah pandangan filsuf Yunani klasik. Bahagia adalah soal kualitas.

Baca juga: Lisan dan Hati

Aristoteles dan kaum Stoa memakai kata eudaimonia untuk mengilustrasikan tujuan akhir dari (aktivitas) hidup manusia. Eudaimonia berarti jiwa yang bagus. Beberapa penulis Barat mengartikannya dengan hidup yang bagus.

Bahagia (eudaimonia) sebagai hidup yang bagus/subur/berkembang tentu berbeda dengan 'bahagia' yang umum kita pahami. Eudaimonia adalah kualitas hidup, bukan perasaan kita di saat tertentu.

Hidup yang bagus atau bermutu tidak ditentukan oleh perasaan. Saat kita bersedih, kita masih bisa merasakan eudaimonia atau hidup yang bermutu. Sebaliknya, seseorang yang terlihat tertawa lebar, terlihat 'bahagia' bisa saja sebenarnya hidupnya sedang tidak bagus. Mulai sekarang kita tak perlu bermudah-mudahan men-judge seseorang tidak bahagia hidupnya hanya lantaran ia terlihat susah dan apa adanya. Juga seseorang yang terlihat penuh tawa, tidak elok jika kita buru-buru menganggap hidupnya baik-baik saja.

Hidup yang bagus (eudaimonia) adalah tujuan akhir dari segala aktivitas yang kita lakukan. Eudaimonia bukanlah 'bahagia' yang selama ini kita pahami, eudaimonia adalah kebahagiaan yang sebenarnya.

Bahagia (eudaimonia) adalah keseluruhan hidup, tidak terpisah seperti bermain game yang harus menunggu sesi akhir dengan mengalahkan musuh terbesar barulah bisa bahagia. Bahagia itu seluruh sesi dari permainan game itu sendiri. Eudaimonia ada di bagaimana kita hidup (how we live), bagaimana kita membuat keputusan, bagaimana respons kita terhadap keberhasilan atau kegagalan. Apapun kondisi yang kita alami, kita bisa disebut memiliki 'hidup yang bagus' atau tidak.

Bahagia itu ada dalam tindakan. Bahagia itu dinamis. Jika bahagia eudaimonia itu bukanlah keadaan tertentu, tetapi bagaimana kita menjalani hidup setiap hari. Bahagia hadir dalam tindakan, kegiatan, dan pilihan-pilihan kita. Bahagia tidak hadir manakala kita hanya diam saja tidak melakukan apa-apa. Bahagia tidak perlu menunggu masa pensiun atau istirahat setelah kerja. Bahagia itu sekarang juga, saat kita kerja, saat kita belum pensiun dan lain-lain di mana saja kita berada.

Bagaimana kita bisa meraih bahagia (eudaimonia)?

Nalar memainkan peran inti dalam bahagia eudaimonia. Kaum Stoa percaya bahwa rasionalitas adalah sifat Tuhan. Rasionalitas melingkupi seluruh alam. Rasionalitas hanya diberikan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu kaum Stoa menganggap manusia yang tidak menggunakan nalarnya sama dengan menyia-nyiakan pemberian Tuhan. Sebaliknya, merawat nalar adalah tanda bersyukur kepada Sang Pencipta.

Sebagai contoh seseorang yang mengalami depresi, stress, bukannya datang kepada ahli kejiwaan tetapi malah mengonsumsi narkoba dan zat terlarang lainnya. Bukannya mengatasi masalah tetapi justru menambah masalah yang ada. Eudaimonia bukanlah seperti ini. Kaum Stoa juga menyebutkan bahwa kunci bahagia adalah selaras dengan alam semesta, dan itu hanya bisa diraih dengan hidup bernalar yang benar. 

Eudaimonia lebih dari sekedar 'bahagia'.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun