Mohon tunggu...
Nur Kolis
Nur Kolis Mohon Tunggu... Penulis - Saya adalah seorang yang suka belajar

Saya suka menulis untuk memberikan kontribusi positif bagi semesta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dualisme Sistem Pendidikan, Review Buku Pesantren, Madrasah, Sekolah karya Karel A Steenbrink

7 Oktober 2024   14:07 Diperbarui: 7 Oktober 2024   14:34 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya Belanda melakukan politik asosiasi khususnya dalam bidang pendidikan nyatanya gagal. Pamor sebagai bangsa penjajah beragama Kristen yang selalu menempatkan diri sebagai penguasa atas bangsa terjajah yakni Islam Indonesia menjadi penghalang besar.

Belanda menganggap sistim pendidikan masyarakat Jawa pada waktu itu (baca: pesantren atau pendidikan Islam) adalah pendidikan yang aneh dan tidak bermutu karena memusatkan mempelajari teks-teks bahasa Arab. Belanda menganggap bahwa sistim pendidikan masyarakat Jawa yang sudah ada hanya sekedar menghafal tanpa tahu artinya. Akan tetapi di sisi lain sikap berbeda ditunjukkan oleh pemerintah Belanda terhadap pendidikan masyarakat yang memusatkan pembelajarannya pada agama Kristen. Belanda bahkan memberikan subsidi atau bantuan pada sekolah-sekolah yang didirikan dan dikelola oleh Zending di daerah Minahasa dan Maluku yang mana di sekolah-sekolah ini juga hampir seratus persen memusatkan pembelajarannya pada agama (Kristen).

Sistim pendidikan Islam pada saat itu mengajarkan baca tulis dengan aksara Arab. Hal inilah yang melatar belakangi Belanda memberikan penilaian bahwa pendidikan Islam itu aneh dan tidak bermutu. Belanda juga beranggapan bahwa lembaga pendidikan Islam tidak mengajarkan ilmu-ilmu umum yang bisa membawa kemajuan. Padahal penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para sarjana Barat hanya berpusat mengamati proses bagaimana pembelajaran Islam itu berlangsung, belum menyentuh isi atau materi yang diajarkan. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Snouck Hurgronje yang melalukan penelitian terhadap pendidikan Islam yang ada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Aceh. Adapula sarjana Barat lain yang meneliti pendidikan Islam yang ada di daerah Minangkabau. Berbagai penelitian tersebut memiliki hasil yang secara garis besar sama.

Adapun sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending mendapatkan sambutan hangat dari pemerintah Belanda. Di sekolah-sekolah ini murid-murid diajarkan menulis dengan huruf latin. Selain itu, ilmu bumi dan musik (masih berkaitan dengan ajaran-ajaran gereja) juga diberikan kepada murid-muridnya. Hal inilah yang membuat Belanda menganggap bahwa sekolah-sekolah tersebut memiliki mutu dan bisa dimasukkan dalam sistim pendidikan nasional. Meski pada akhirnya konon Belanda juga meminta sekolah-sekolah Zending mengurangi pelajaran agama agar ilmu semakin maju.

Jika kita melihat lebih jauh ke belakang, sebab-sebab Belanda tidak mengakui pendidikan Islam ke dalam pendidikan nasional bukan sekedar karena pendidikan Islam pada waktu itu mengajarkan baca tulis dengan aksara Arab, bukan aksara latin sebagaimana orang Belanda. Tetapi karena pendidikan Islam telah melahirkan murid-murid yang anti terhadap penjajah. Ini artinya jika Belanda memasukkan pendidikan Islam ke dalam sistim pendidikan nasional yang mereka kuasai maka itu sama dengan melahirkan murid-murid yang bisa mengancam eksistensi Belanda sebagai bangsa penjajah itu sendiri. Hal inilah yang membuat Belanda akan membikin berbagai argumen mengenai pendidikan Islam agar dianggap tidak maju dan tidak bisa dimasukkan dalam sistim pendidikan nasional yang dikelola pemerintah kolonial Belanda. Belanda khawatir sistim pendidikan yang mereka kelola akan melahirkan senjata makan tuan.

Pola pikir pemerintahan kolonial Belanda terkait sistim pendidikan jika ditarik ke masa sekarang nampaknya masih dianut oleh banyak kalangan di negeri Indonesia yang sudah merdeka ini. Hal ini bisa mudah kita jumpai bahwa banyak masyarakat yang berkeyakinan bahwa hanya dengan mempelajari ilmu umum dapat membawa bangsa kepada kemajuan. Tentu kemajuan yang dimaksud adalah kemajuan di bidang sains dan teknologi informasi, bukan kebaikan karakter atau akhlak. Padahal pendidikan Islam jika dipahami secara utuh dan menyeluruh justru amat sangat mendukung berbagai upaya untuk kemajuan di bidang sains dan teknologi. Satu hal yang membedakan dengan antara pendidikan Islam dan lainnya adalah adanya upaya untuk memajukan karakter atau akhlak. Hal ini bertujuan agar pengembangan sains nantinya tetap dibarengi dengan kepatuhan terhadap aturan-aturan atau moral yang luhur yang mana ajaran-ajaran ini ada di dalam agama Islam.

Bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam di masa kini, penilaian Belanda terhadap pendidikan Islam di masa lampau dapat pula dijadikan koreksi agar pendidikan Islam di masa sekarang dapat selalu berbenah dengan mengikuti perkembangan zaman meski tetap harus berpegang teguh pada hal-hal prinsip agama Islam. Kaidah yang berbunyi: al-muhafadhotu ala al-qadimi ash-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah bisa kiranya menjadi panduan agar pendidikan Islam bisa tetap eksis dan survive menghadapi tantangan zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun