Kerja Ilmiah (Sains) dan Nalar Keagamaan
Â
 Kerja sains adalah bentuk ejawantah dari nalar teks, nalar iman, nalar akhlak, nalar ibadah dan nalar dakwah (Mohammad Muslih, 2018). Kebiasaan umat Islam yang selalu berusaha mengaitkan setiap sesuatu dengan teks al Quran maupun sunnah merupakan problem tersendiri dalam pengembangan sains. Bagaimana tidak, jika hal ini tidak dilakukan dengan kehati-hatian maka bisa terjebak pada sainisasi agama atau agamaisasi sains. Padahal di sini fungsi agama adalah sebagai penggerak atau muharrik dalam pengembangan sains.  Artinya, kerja-kerja saintifik akan digerakkan dan "dikawal" oleh agama agar tetap berjalan sesuai koridor yang telah digariskan. Sehingga dalam kerja saintifik tidak membenarkan segala cara atau menabrak aturan yang berlaku dalam agama.
Syamsuddin Arif menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan sains di dunia Islam adalah karena dorongan agama. Sebagaimana kita ketahui, al-Quran banyak berisi anjuran untuk menuntut ilmu, perintah agar kita membaca (iqra'), observasi (afala yarauna), eksplorasi (afala yandhuruna), dan ekspedisi (siru fi al-ardh), melakukan inference to the best explanation, serta berpikir rasional (li qaumin ya'qilun). Singkatnya, pesan-pesan senada yang intinya mengecam sikap asal terima (2008).
Kerja sains itu bukan dimaksudkan untuk membuktikan keimanan, tertentu, karena keimanan bukan untuk dibuktikan, tapi justru menjadi orientasi dan alasan kuat untuk terlaksananya kerja-kerja sains. Semakin kuat keimanan seseorang bukan berarti berpikir dan kerja kerasnya semakin berkurang. Sebaliknya, semakin kuat keimanan seseorang semakin kuat pula berpikir dan kerja kerasnya untuk menciptakan kemajuan.
Secara umum, iman itu harus dibuktikan dengan perbuatan, seseorang yang mengaku beriman tetapi malah malas berbuat demi kemajuan haruslah dipertanyakan pemahaman tentang keimannya. Kerja saintifik merupakan salah satu perwujudan dari pengakuan keimanan, sehingga kerja saintifik bisa dikatakan menyatu dengan iman.
Kerja saintifik sebagai ejawantah dari nalar iman di sini bukan bermaksud untuk meragukan yang sudah baku dalam agama seperti adanya Tuhan dan lain sebagainya. Tetapi sebagai motivasi bagi ilmuwan agar dalam kerja saintifik untuk selalu mengedepankan tanggungjawab. Â Karena hasil kerja saintifik yang bisa memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat secara luas merupakan perwujudan dari keimanan (al-amalu bil jawarih). Semakin beriman, semakin tinggi produktivitasnya untuk menyebarkan manfaat (khairu an-nas anfa'uhum linnas).
Banyak orang memahami ibadah hanya sebatas ritual di tempat ibadah. Padahal belum tentu ritual di tempat ibadah itu bisa dikatakan sebagai ibadah.  Seseorang melakukan perbuatan bisa jadi didasari oleh tiga hal; pertama, karena untuk kepentingan pribadi. Kedua, untuk kepentingan sosial. Ketiga, ikhlas untuk Tuhan semata.  Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang untuk alasan pertama dan kedua sebagaimana disebutkan, tidaklah bisa disebut sebagai ibadah.  Suatu perbuatan hanya bisa dikatakan sebagai ibadah manakala dilakukan  hanya untuk alasan yang ketiga, yakni ikhlas untuk Tuhan.
Ibadah bukan hanya ritual, tetapi mencakup semua perbuatan yang hanya diikhlaskan untuk Tuhan. Dengan demikian, kerja sains bisa dikatakan sebagai ibadah manakala dilakukan ikhlas karena Tuhan. Semakin baik seseorang, akan semakin baik ibadahnya, semakin baik pula kerja saintifiknya. Kerja saintifik adalah ibadah.
Kerja-kerja sains yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab, memperhatikan kaidah-kaidah yang benar merupakan ejawantah dari nalar akhlak. Agama mengajarkan untuk berakhlak dalam segala hal. Kerja sains yang dilakukan dengan penuh akhlak merupakan bentuk perwujudan dari ajaran agama.
Dakwah bukan hanya berbicara di atas mimbar. Dakwah dapat diwujudkan dalam tiga tahapan, yaitu sukses pemenuhan kebutuhan dasar, sukses pemantapan eksistensi, dan sukses perwujudan partisipatif. Â Dalam konteks pengembangan sains, keberhasilan pemenuhan hajat dasar manusia yang dilakukan dalam bentuk tiga tahapan dakwah merupakan orientasi dan tujuan utama dari sains, secara keseluruhan aktivitas ilmiah adalah dakwah.
Dari berbagai uraian di atas dapatlah diketahui bahwa Islam  mendorong umatnya untuk melakukan kerja saintifik sehingga dengan itu diharapkan akan menambah dekat hubungan seseorang dengan Tuhannya (iman).  Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Rusyd bahwa penalaran terhadap segala yang maujud dan memandangnya sebagai bukti adanya Pencipta adalah pemahaman dari berfilsafat. Segala yang maujud adalah sebuah ciptaan, sehingga mengetahui ciptaan dapat menunjukkan pada adanya penciptanya. Semakin sempurna pengetahuan tentang ciptaan, semakin sempurna juga pengetahuan tentang Pencipta. Oleh karenanya mempelajari filsafat adalah sunnah, bahkan wajib hukumnya (2015). Menurut  M. Fethullah Gulen, intelektual muslim asal Turki, seperti disebutkan oleh Syarif Hidayatullah, memandang bahwa ilmu pengetahuan dan iman adalah bersesuaian (compatible) dan saling melengkapi, sehingga penelitian ilmiah dan teknologi sangat penting dilakukan demi kebaikan manusia (2019). Bahkan dalam tradisi Islam, ilmu adalah satu sisi dari agama, maka berilmu merupakan wujud dari beragama. Jika antara ilmu dan Islam tampak terpisah, maka itu tidak lain adalah karena pandangan agamawan, perspektif ilmuwan, dan persepsi masyarakat muslim yang telah memisahkan atau bahkan mempertentangkan antara keduanya (Mohammad Muslih,2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H