Mohon tunggu...
Nurkholis Ghufron
Nurkholis Ghufron Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alumni MI Darussalam Padar, Mts Darussalam Ngoro, Darussalam Gontor 94, berwirausaha, Suka IT...To declare does'nt mean to be Proud of. It rather than to be thankful to teachers and carefully behaviour...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

HTI: Ingin Menang tapi Takut Resiko?

22 September 2015   06:24 Diperbarui: 22 September 2015   07:20 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu diskusi di Sawahan Jombang beberapa bulan yang lalu, tiba tiba peserta diskusi nyelethuk “ HTI mau menang tapi takut perang...takbir melulu tapi tak ad action....” . Saya pun penasaran dengan statemen tersebut, kemudian saya berusaha mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif dari fenomena HTI atau Hizbuttakhrir Indonesia. Alkhasil, saya semenara berkesimpulan memang benar HTI ingin mengubah politik tapi takut berpolitik.

Nabi Saw sendiri sudah mengingatkan kita akan fenomena ini. Saya lebih suka memilih kata “ingin prestasi tapi takut resiko” dengan dalih menggunakan hukum hukum agama Islam. Poin ini yang ingin saya tekankan dalam tulisan singkat ini.

Nabi Saw mengingatkan kita bahwa seorang Muslim yang bergaul dengan masyarakat tanpa rasa takut akan disakiti atau jatuh dalam dosa oleh mereka itu lebih baik dari pada orang yang menghindari masyarakat dengan dalih takut akan dosa dan cedera. Karana orang yang bergaul bersosialisasi dengan mereka , maka akan timbul tali silaturrakhmi dan dari situ perubahan akan ber embrio dan bukan hanya dalam tataran wacana jalan di tempat , tapi sudah bersemai meski perlahan.

Mengenai politik, saya sangat setuju bahwa kita tak boleh buta politik atau pura pura buta karana ternyata politik mempengaruhi kebijakan dari susu sampai minyak tanah. Politik telah mempengaruhi standar standar politisi politisi buruk dan jelek. Politik telah menghapus memori kisah pernuangan para pejuang Muslim yang berjasa besar dalam melawan Belanda. Politk juga bisa mengerdilkan jasa orang orang yang dulunya berjuang untuk NKRI. Dan banyak sekali kisah pergulatan antar agama juga bermula dari intrik intrik politik.

Tapi kita salut terhadap kelompok tertentu yang telah secara sistematis menyadari untuk menggunakan “intrik politik” untuk sampai kepada kekuasaan dan bukan main hujatan di jalanan dan itu lah sistem politik yang berfungsi sebagai mesin politik. Siapapun yang ingin mengadakan perubahan maka harus menyadari bahwa ada harga yang harus dibayar untuk sukses.

Kalau liberal bisa mewarnai pemerintah,bahkan mungkin Komunis juga telah memberikan pengaruih di pemerintahan kita..jangan salahkan mereka...itu karana mereka menggunakan mesin politik alias masuk dalam tataran pragmatisme kekuasaan.

Saya kira HTI akan lebih sukses jika masuk dalam pragmatisme di kekuasaan asalkan dipersiapkan doktrin yang mumpuni agar jangan menjadi pragmatisme buta. Ingat , melawan petinju profesional di jalanan tak akan menaikkan peringkat, melawan musuh dalam masa damai tak menaikkan derajat, merubah arah politik Indonesia juga harus melalu mekanisme mesih politik yang ada.

Lebih baik bergerak dalam diam tapi bisa mengubah kebijakan negara dari pada ramai tak tak satupun kebijakan negara berubah karananya. Jangan rendahkan tulisan Laa Ilaa ha Illalah dalam demo jalanan tapi kalah dalam politk praktis.

Ahok dan etnis china adalah contoh dalam perjuangan lewat politik ini. Contohlah perjuangan mereka yang ‘berdarah darah ‘ di jalur politik. Jangan sekali kali mengajak ummat untuk golput karana satu suara begitu berharga. Jikalau HTI tetap mengajak Golput berarti , berarti kalahnya calon calon Muslim bisa jadi karana ada andil dari kebijakan internal yang salah.

Saya bukan anti khilafah dan sok Pancasilais, tapi mengubah Pancaslia hanya akan membuang tenaga percuma dan menjadi biang perpecahan dan itu adalah bukti HTI tak mampu berfikir rasional disamping itu saya tidak ingin bandul jam itu berputar ke masa lampau dengan nostalgia . Saya biarkan jam itu berputar menuju “sunnatullah” yakni berputar untuk menuju masa depan dengan mengakui bahwa Ummat Islam sekarang memang terpuruk dan terpecah pecah perlu perjuangan yang sangat keras untuk persatuan dan kesatuan demi terciptanya NKRI yang benar benar utuh tanpa mendeskritkan siapapun karna itulah HTI perlu berubah menjadi pragmatisme politik.

Wallhu a’lam bisshowab..

Nurkholis Ghufron

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun