Sebenarnya tidak masalah jika sampling sosok Ibnu Muljam ini untuk internal ummat Islam dalam kontek aktual radikalisme minus ummat lain sebagai bentuk awareness atau pun mukhasabah . Namun , masih dalam kontek yang sama , untuk masyarakat Indonesia yang majemuk Plural tidak hanya Muslim yagn mendiami negri ini dalam bingkai NKRI, maka rasanya pengambilan sampling ini tidaklah adil karna ada pembunuh lain yang entah Bapak dengan sengaja atau tidak, tidak pernah mengupasnya di depan publik yang melibatkan orang yang sangat berperan dalam perluasan Islam yakni Umar Bin Khottob yang Michael. H. Hart menempatkannya pada rangking 52 diatas Julius Kaesar dan memujinya dengan kata kata “diragukan Islam akan seluas sekarang ini tanpa perluasan yang dilakuan oleh Umar bin Khottob secara terus menerus dan cepat karna wilayah yang ditaklukkannya sampai sekarang masih secara permanen menjadi wilayah Islam.” “Dia (Umar R.a) menunjukkan kepad kita bagaimana untuk mengaplikasikan wahyu “Laa ikrooha fi addiien.” Lanjut Michael.H. Hart[1]. Namun begitu beliau meninggal karna dibunuh oleh Abu Lu’luk dengan ciri ciri sebagai berikut : Non Muslim,Tidak qooimul lail, Non Aroby (persia, Iran) yang kelak menjadi pahlawan bagi Syiah.
Dalam kontek terorisme di era Modern, dua sosok pembunuh tadi tak bisa dijadikan sampling untuk terorisme meski Bapak telah dengan sangat intens mengemukakan sosok Ibnu Muljam karna akan mencederai “ Al Musaawat wajhal khukmi“ atau “Equality before the law”, kalau pakai “Ibnu Muljam” maka Muslim akan dicedrai karna hanya Muslim yang didefiniskan menjadi teroris jika melakukan tindakan terorisme, dan sampling Abu Lu’luk maka akan mencedrai Non Muslim karna hanya Non Muslim yang akan didefinisikan menjadi teroris jika melakukan tindakan terorisme. Definisi yang tepat untuk terorisme hendaknya merujuk kepada siapapun yang melakukan tindakan teror tanpa membedakan latar belakang agama, ras , golongan dan kelompok serta gender.
Saya hanya ingin mempertanyakan kenapa dalam berbagai pertemuan, Panjenengan tidak pernah mengangkat Abu Lu’luk sebagai sosok sampel terorisme, mohon maaf apakah karna :
- Kematian Umar Bin Khottob Ra tidak begitu menjadikan Panjenengan kehilangan dari pada Ali Ra. Jika penekanan pada Ali Ra adalah “Ya” maka hal ini bertolak belakang dengan semangat dari salah satu nilai Tahlilan yang terbiasa melafazkan “Laa nufarriqu baina akhadin” bernilai moral bahwa jangankan kepada para sahabat, kepada para Rasul Allah pun kita tak membeda bedakan sembari mengucapkan “sami’na wa atha’na”.
- Atau karna Abu Lu’luk yang menjadi eksekutor adalah orang Persia Non Arab, Non Muslim dan sekarang menjadi Pahlwan bagi Non Aswaja , Syiah? Jadi Bapak tidak ingin menyinggung perasaan Syiah?, ini sangat perlu penjelasan yang langsung dari Bapak sendiri karna akan memperkokoh pendirian Bapak dalam madzhab ini.
Apa yang saya ajukan ini menjadi penting karna pragmatisme NU yang selalu berada di fihak Negara dalam mengawal NKRI sejak sebelum kemerdekaan yang digawangi langsung oleh Hadratus Syaikh [2]Kyahi Haji Hasyim Asyary Tebuireng, ketika proses perumusan UUD yang diwakili oleh KHA. Wahid Hasyim, KH. Masykur dan Zainul Arifin sampai sesudah kemerdekaan dalam kepemimpinan KH.Idham Chalid yang memberikan definisi kepada separatis baik Muslim maupun Non Muslim sebagai “BUGHOT” atau pemberontak. Ini adalah bentuk Musaawat yang sejatinya juga bisa diusung oleh penerus NU. Saya optimis dengan kepemimpinan BPK. Kyai Said Aqil Siraj yang kedua ini akan mengalami perubahan yang mendasar dalam salah satu kontek ini. Bin dan Densus 88 sangat mendengar kan fatwa Nu dalam hal hal keamanan terutama terorisme dalam kontek kekinian .
Dalam Kasus Tolikara, BPK.KYAI Said Aqil Siraj sebagai PBNU tanpa berniat menggurui tentu bisa mengambil peran yang sangat penting untuk bersikap konsisten, tawassut, i’tidal , tasaamuh dan tawaazun artinya kalau di sini Banser menjaga gereja yang menjadi milik minoritas Kristen, maka hal yang sama juga berlaku untuk minoritas Muslim Irian Jaya yakni Banser menjaga masjid tanpa melempar tanggung jawab kepada pemuda Kristen di sana karna itu akan menjadi bukti konsistensi pragmatisme ini ke arah “rahmatan lil Alamin min ‘unshuuril Muslimin wa ghoirihim”. Hal ini saya ingin bahagia untuk melihat bagaimana renspon Banser di bawah arahan Bapak ketika hari raya Iedul Adha yang sebentar lagi akan datang.
Harapan saya, surat saya ini Bapak jawab dalam beberapa hari setelah surat ini saya sampaikan baik secara khusus maupun terbuka..la ba’sa bihi. Trimakasih yang sebesar besarnya atas perhatian Bapak kepada surat ini dan secara pribadi manakala ada kata yang tidak berkenan saya mohon maaf yang sebesar besarnya.Wabillahi attaufiq wal hidaayah warridhoo wal inaayah.
Wassalamualaikum Wr,wb
Nurkholis Ghufron
d/a: Kepuhpandak Sidowareg Ngoro Jombang.