Di suatu malam yang dingin,  saya" mendadak " bertemu dengan teman saya yang sudah lama berpisah. Pertemuan terakhir saya pada tahun 1996. Itu artinya sudah tidak bertemu dalam rentang waktu 16 tahun. Kata 'mendadak' memang telah menghipnotis saya , sehingga saya menikmati untuk menyisipkan entah satu atau dua di artikel yang saya tulis. Seperti layaknya pertemanan antar sesama laki-laki separuh baya  manapun ,  kopi hangat dan rokok  menjadi lokomotif untuk menjaga agar kantuk tidak hinggap untuk menebas habis romantisme masa lalu yang boleh jadi tidak akan bisa diobati lain waktu.
Panggil saja teman saya tersebut "Yang Mulia" (samaran). Dia aktif mengajar di sekolahan swasta Islam sekaligus menjabat sebagai ketua lembaga BPD di suatu desa di  selatan Jawa Timur.  Semasa menjadi mahasiswa, dia aktiv mengusung  idealisme -idealisme yang kerap berseberangan dengan penguasa pada waktu itu sehingga gelar 'aktivis' melekat pada dirinya.
Tanpa ba bi bu..langsung to the poin. Dia bersemangat menceritakan tentang prosentase kecurangan dalam Unas yang mencapai sekitar 80 -90 persen. "Ketika try out atau ujian percobaan sebelum unas prosentase nilai yang mencapai standart kelulusan mencapai 5 % Â , namun anehnya ketika ujian Nasional dilaksanakan dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi dan keseriusan yang total tingkat kelulusan bisa mencapai 100 persen atau kurang sedikit..semakin tinggi tuntutan untuk kelulusan maka akan semakin tinggi tingkat kecurangan dan ketidak jujuran.! sangat memprihatinkan sekali!" Dia menjelaskan awal kegelisahannya yang saya dengarkan dengan seksama.
Kemudian kawan saya satunya yang kebetulan menjadi tuan  rumah kami berdua, sebut saja "Yang Disayang"(samaran) memberi penekanan pada topik yang sedang disodorkan oleh kawan saya tadi:
"Saya prihatin dengan Unas karna pendidikan telah menekankan pada nilai angka angka dan bukan pada nilai moral serta kejujuran yang bagi saya tidak dapat ditawar. Apakah cukup pendidikan hanya diukur dari  angka angka itu. Ketika tuntutan kelulusan ansich begitu tinggi maka posisi guru sangat sulit. Di satu sisi jika sekolahan tidak mampu melululuskan siswanya akan didemo wali murid untuk menutup sekolahan jika tidak becus mengurus siswa  dan di sisi lain juga akan disorot oleh lembaga yang menaungi sekolahan tersebut.  Dua tuntutan yang menekan dari dua sisi inilah yang menyebabkan terjadinya ketidak jujuran secara berjamaah. Akibatnya , diadakan try out -try out gelap, rapat-rapat konsolidasi untuk mensukseskan kelulusan siswa gencar dilaksanakan, wahana-wahana rahasia ala James Bond diciptakan untuk memberi jawaban kepada peserta Unas ..istilah usul fiqh pun  tidak pula ketinggalan untuk melegitimasi aksi-aksi semacam ini " Kemudaratan membolehkan suatu yang terlarang" atau dalam bahasa arabnya ADHORUROTU TUBIHUL MAHDUROT. karna beban inilah saya memutuskan mengundurkan diri dari  jabatan kepala sekolah!."
Sudah 5 tahun lebih kawan saya ini mengundurkan diri dari jabatan kepala sekolah ,namun baru kali ini saya mendengarkan langsung penyebab mundurnya dari jabatan bergengsi tersebut.
Lantas Yang Mulia menimpali dengan berapi-api persis gayanya semasa menjadi aktivis :" Menteri pun sudah tahu kejadian semacam ini. Kejujuran yang dilacurkan untuk Unas ini telah mewabah setingkat Nasional dan bukan bersifat daerah saja. Kalau kejujuran diterapkan maka siswa yang benar benar lulus sebanyak yang lulus pada waktu try out yang betul betul murni dan di tempat saya hanya lulus 3 orang(sambil menunjukkan jari tangan kanannya). Maka bisa disimpulkan yang tidak lulus bisa mencapai diatas 50 -90 persen pada sekolah sekolah yang bukan favorit dan negeri. Kalau pada sekolah favorit dan negeri prosentase kelulusan tinggi karna multifaktor : Iq mereka tinggi, kebanyakan mampu dalam hal finansial dan mungkin miliu belajar yang berbeda. jika ketidaklulusan pada prosentase ini terjadi maka sekolah  akan ditegor oleh lembaga setingkat kabupaten, kemudian yang kabupaten juga akan ditegor atasannya sampai ke tingkat Menteri. Jadi Ketidakjujuran menjadi pilihan untuk meluluskan siswa dan menghindari tegoran berantai semacam ini. Inilah kalau pendidikan kita mengejar "ISO"  agar sepadan dengan negara lain semata dengan mengorbankan nilai yang lebih besar. Apa cukup kelulusan siswa hanya berdasarkan pada angka angka sedangkan nilai moral seperti kejujuran dan kedisiplinan tidak ada.Dulu waktu saya di Gontor saya mendapatkan nilai 4 pada mata pelajaran Al Jabar bahkan pernah mendapat nilai 1 pada raport kenaikan kelas. Teman teman saya pun ada yang dapat nilai 0. dan ditulis apa adanya. Itu luar biasa. Gontor tidak takut untuk tidak meluluskan siswanya. Bagi yang ketahuan curang dalam disiplinpun tidak tanggung tanggung sanksinya bisa digundul atau dipulangkan. Nilai kelulusan siswapun akan dikawinkan dengan "rekaman" prestasi, kedisiplinan dan kejujuran selama belajar di Gontor. Gontor layak untuk menjadi kiblat dalam pendidikan!."
Sayapun mulai memberikan tanggapan ;" Saya kira masalah kecurangan Unas itu hanya 5 persen saja,namun kenyataannya adalah sekitar 90 %. Namun perlu digarisbawahi memang , Iso itu baik namun jangan sampai mengorbankan nilai yang lebih besar...saya sangat setuju. Bagaiamana kalau obrolan ini saya angkat menjadi tulisan di Kompasiana??"
" Ok..tapi dengan nama samaran" pinta kawan saya  tersebut.
Tanpa terasa jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari apalagi bungkus rokok "Djisamsu" sudah diremas pertanda habis karna sayapun yang tidak merokok mencoba menghabisi suguhan gratisan ini tanpa diperhatikan oleh sang tuan rumah. Akhirnya kami berpamitan untuk menumpahkan lelah kantuk yang tidak bisa disiasati dengan ketidak jujuran ala UNAS.
Nur Kholis Ghufron
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H