Oleh : Nur Kholidah Mahasiswi Pascasarjana Prodi Keuangan & Perbankan Syariah (2014) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Rumah merupakan kebutuhan pokok manusia, sebagaimana halnya makanan dan pakaian. Setiap orang pasti menginginkan memiliki rumah sendiri sebagai tempat untuk beristirahat dan mencurahkan kasih sayang bersama keluarga. Terlebih bagi mereka yang telah menikah tentunya tidak lengkap rasanya kalau menumpang pada orang tua atau hanya sekedar mengontrak rumah. Maka tidak heran apabila permintaan masyarakat akan rumah tiap tahun terus bertambah. Akan tetapi harga rumah di perkotaan menjadi sangat mahal seiring dengan pesatnya pembangunan sehingga menyebabkan jarang orang yang mampu membeli rumah secara tunai.
Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh banyak lembaga pembiayaan dan perbankan untuk menawarkan produk konsumtif yang banyak dikenal dengan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Berbagai fasilitas kemudahan mulai dari proses pengajuan, keringanan biaya admnistrasi, rendahnya tingkat suku bunga dan sebagainya pun ditawarkan sebagai daya tarik. Sayangnya, suku bunga bank konvensional yang fluktuatif dan tidak pasti terkadang membuat orang merasa ragu untuk mengambil kredit kepemilikan rumah dari perbankan.
Sebagian dari masyarakat merasa khawatir jikalau di tengah masa kredit suku bunga tiba-tiba naik dan menyebabkan mereka tidak mampu lagi membayar sisa angsurannya. Kekhawatiran seperti itu seharusnya tidak perlu terjadi jika memanfaatkan fasilitas pembiayaan kepemilikan rumah dari bank syariah (KPR iB).
Nasabah tidak harus menyediakan dana secara tunai untuk membeli rumah. Nasabah cukup menyediakan uang muka yang harus dibayar pada awal berkisar 10-15% dari besarnya pembiayaan. bahkan ada yang 0% artinya tanpa uang muka tapi dengan syarat tertentu (agunan) yang harus dipenuhi. Adapun biaya yang harus dibayarkan di awal meliputi biaya administrasi, biaya notaris, biaya asuransi. Semua persyaratan tersebut mengacu pada kententuan bank bersangkutan yang sesuai dengan regulasi dari Bank Indonesia.
Ada beberapa skema atau akad yang digunakan dalam sistemnya. Di antaranya adalah KPR iB Jual Beli (skema murabahah), KPR iB Kepemilikan Bertahap (musyarakah mutanaqisah), KPR iB sewa (skema ijarah), dan KPR iB Sewa Beli (skema Ijarah Muntahia Bittamlik-IMBT). Namun, dari beberapa akad yang ditawarkan tersebut, sebagian besar bank yang memiliki produk KPR syariah, mengunakan dua skema, yaitu skema jual beli (skema murabahah) dan skema kepemilikan bertahap (musyarakah mutanaqisah).
Pada akad musyarakah mutanaqishah, bank syariah dan nasabah berkontribusi modal dengan prosentase tertentu, dan nasabah kemudian membeli “saham/bagian” yang menjadi milik bank secara bertahap, sampai kepemilikan rumah tersebut sepenuhnya berada di tangan nasabah.
KPR syariah dengan akad murabahah adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank membeli rumah yang diperlukan nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah sebesar harga beli ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati oleh bank dan nasabah. Harga jual rumah ditetapkan di awal ketika nasabah menandatangani perjanjian pembiayaan jual beli rumah, dengan angsuran tetap hingga jatuh tempo pembiayaan. Ada juga yang menambahkan akad wakalah dalam KPR syariah ini.
jika dilihat dari kasus murabahah bil wakalah, termasuk pembiayaan multi akad dan diperbolehkan dalam ajaran islam dengan catatan akad-akad tersebut bersifat independen, meskipun memiliki keterkaitan satu sama lain. Sedangkan yang dimaksud dengan akad-akad yang bersifat independen adalah semua kontrak yang ada, tidak saling mempersyaratkan antara satu dengan yang lain, sehingga semuanya saling terpisah (namun saling mendukung). Misalnya, akad nasabah dengan bank untuk membeli sebuah tanah ,dengan menggunakan skema pembiayaan murabahah bil wakalah pada prakteknya ada dua tahap. pertama Bank membeli rumah dari Developer dengan menunjuk nasabah sebagai wakilnya (akad wakalah), sehingga rumah tersebut biasanya sesuai dengan keinginan nasabah. Tahap kedua, bank menjual rumah tersebut kepada nasabah dengan akad murabahah. Dalam hal ini, wakalah bukan merupakan syarat terjadinya murabahah tetapi mendukung murabahah, demikian pula dengan pembiayaan multi akad lainnya. Pada contoh kasus diatas ,jika murabahah berdiri sendiri tanpa didampingi wakalah, ada kemungkinan rumah yang dibeli Bank tidak sesuai dengan keinginan nasabah , sehingga rumah tersebut mungkin tidak terjual.
Dalam memperhitungkan besarnya profit marjin maupun bagi hasil, ada beberapa variabel yang diperhitungkan oleh pihak bank syariah. Variabel-variabel tersebut antara lain adalah biaya tenaga kerja dan operasional, biaya bagi hasil untuk nasabah penabung, deviden, dan lain-lain.