Mohon tunggu...
Khof H
Khof H Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Mari menjadi tidak sederhana!

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Jangan karena Stigma, membatasi peran dalam rumah tangga.

3 November 2020   00:06 Diperbarui: 3 November 2020   12:18 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sumber | sumberharapan.co

Halo pembaca setia Kompasiana, apa cerita?

Apa sih  yang ada dalam benak kalian saat mendengar kata rumah tangga?


 
Rumah yang ada tangganya. What the hell ?

Makna rumah tangga di KBBI adalah: yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah (seperti hal belanja rumah);(jagokata.com )


Rumah tangga terdiri dari satu atau lebih orang yang tinggal bersama-sama di sebuah tempat tinggal dan juga berbagi makanan atau akomodasi hidup, dan bisa terdiri dari satu keluarga atau sekelompok orang. Sebuah tempat tinggal dikatakan berisi beberapa rumah tangga jika penghuninya tidak berbagi makanan atau ruangan.


Dalam arti luas, rumah tangga tidak hanya terbatas pada keluarga, bisa berupa rumah tangga perusahaan, rumah tangga negara, dan lain sebagainya.


Istilah rumah tangga bisa juga didefinisikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan di rumah. Sedangkan istilah berumah tangga secara umum diartikan sebagai berkeluarga (KBBI), (Wikipedia).

Nah, lantas apa itu keluarga.


Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga ( Ayah) dan beberapa orang ( Ibu +  anak) yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. (id.m.wikipedia.org )


Garis bawahi kata saling ketergantungan. Apa sih maksudnya? Menurut hematku, saling ketergantungan artinya saling terikat tidak bisa hidup tanpa satu sama lainnya. Ayah tak bisa hidup tanpa Ibu (sebenarnya bisa aja sih. Banyak kok kita jumpai singel parents oke-oke aja, tapi seperti ada yang gimana gitu. Mungkin juga tidak) begitupun sebaliknya.


Sungguh ironi, stigma yang beredar di masyarakat tentang derajat sosial seorang kepala keluarga (Ayah). Karena ayah adalah kepala keluarga tugasnya sebagai tulang punggung (mencari nafkah), pantang baginya melakukan hal apapun di luar itu. Beberapa tempat di daerah masih menelan mentah stigma ini dengan alasan adat-lah, kehormatan suami atau apapun itu latar belakangnya. Sangat disayangkan. Padahal jika kita tilik itu hanya kewajiban pokok saja.
Lantas seorang istri (Ibu) harus berdiam diri saja di rumah. Jika situasinya sedang beruntung ini tentu banyak faedahnya. Sementara yang terjadi sesungguhnya jauh api dari panggang.


Kenapa kalo Ayah ikut bersih-bersih?

Lah,kok suamimu yang menyapu lantai? Kok dia yang nyuci piring? Kok malah jemur pakaian? Awas loh, kamu kualat. Dosa besar itu.


Aku binggung, letak dosanya dimana? Besar pula bentuknya tapi mana wujudnya? Ini udah masuk dunia lain. Sebaik-baik pengadilan hanya milik sang maha adil. Jangan menghakimi jika tidak tau duduk perkara.


Ya, kali suaminya udah banting tulang cari rezeki, pulangnya masih bersih-bersih, masak lagi. Sementara si istri asik gibah di bale depan rumah pula. Lain cerita.


Secara pribadi saya berharap, agar stigma dalam masyarakat yang beredar demikian dapat dengan bijak kita sikapi. Jika yang saya tuliskan tidak relevan dengan kondisi keadaanmu di seberang sana, maka banyaklah mengucap syukur. Tapi jika benar adanya, kita berharap kebaikan kedepannya. 

Bukan tukar peran rumah tangga melainkan saling melengkapi. 


Terima kasih sudah membaca. Salam untuk semua keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun