Mohon tunggu...
Khof H
Khof H Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Mari menjadi tidak sederhana!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Sebuah Persembahan

14 Agustus 2020   00:00 Diperbarui: 13 Agustus 2020   23:59 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Anak adalah anugrah dan rezeki bagi orang tua. Setuju kah saudara dengan itu?"

"Tentu saja" 

Begitulah awal percakapan kami. Dia seorang penulis buku. Yah, orang yang ku tanyai perihal anak sebagai anugrah dan rezeki itu adalah seorang penulis buku. Hatiku tersayat ketika membaca salah satu bukunya. Isi dari buku itu tentu saja tak usah di pertanyakan, luar biasa bagusnya. Dengan penuh penghayatan dan data yang akurat sesuai dengan fakta dia menulis buku itu. Aku sangat kagum padanya. Tapi yang menyayat hatiku adalah terletak pada kata pengantar yang dia tulis. Bukan hal baru kata kata yang dia tulis. Sama seperti buku yang lain tapi entahlah aku terasa tersentuh dan baru memikirkan nya. 

Mengucapkan terimakasih kepada semua pihak dan mempersembahkan karya tersebut kepada orang tertentu adalah hal biasa yang ditulis pengarang bahkan saat kita menulis kan suatu makalah mau pun mini research untuk keperluan tugas sekolah biasa kita menggunakan kata itu. Entah angin apa yang berhembus kala itu membuat aku merinding saat membaca "Buku ini ku persembahkan untuk ibuku tersayang,yang dengan dirinya aku menjadi seperti sekarang". Deg,deg, deg.... 

Seolah duniaku berhenti sebentar. "Ku persembahkan untuk ibuku". Kata itu terus berputar di kepalaku. 

Aku masih setia dengan lamunanku. Dia mempersembahkan sebuah buku yang sangat bagus untuk ibu nya. Sungguh kebaikan mengalir disetiap kata yang orang baca. Tersayat lah hatiku. Aku juga punya ibu. Apa yang telah aku persembahkan? Aku benar-benar anak yang tidak tau diri. Ibu maafkan lah aku. Air mataku bahkan pergi meninggalkan tempatnya tanpa perisi. Sebegitu pantaskah aku untuk itu?

Aku mulai bernostalgia dengan waktu. Semenjak aku berada di rahimnya hingga kini menginjakkan kaki di bumi dengan nafas dan menatap langit. Semenjak mulai mengingat, aku tak pernah mampu memberikan hal yang teramat berarti untuk di persembahkan padanya. Tidak pernah ada. Setidak berguna itukah aku tuhan? Tak satupun pencapaian yang bisa ku persembahkan. Sebodoh itukah aku? Hingga satu saja hal di dunia ini tak bisa ku mengerti untuk di persembahkan padanya. 

Wanita yang telah melahirkan aku, bertaruh nyawa, mengandung 9 bulan lebih semua itu bukan hal yang mudah. Bukan hal main main. Air ketuban mu yang pecah tak bisa ku ganti. Darah yang kau keluarkan tak bisa ku kembalikan bahkan dengan nyawaku sendiri. Aku tak bisa mengembalikan darah mu yang pergi. Air susu mu yang membuat aku kuat untuk tumbuh. Semua yang kau berikan padaku termasuk doa-doa membaluri seluruh tubuhku menjadikan ku manusia. 

Untuk ibuku,

Anak seperti apa yang kau dambakan? Apa aku sudah termasuk dalam kategori itu meski hanya sedikit. Apa ekspektasi mu sesuai kenyataan? Apa lelahmu mulai dari 9 bulan lebih mengandung ku, menyapih lalu membesarkan ku sampai titik ini hingga ke air mata beserta keringat mu, apa sudah sembuh walau hanya beberapa? 

Atau aku malah membuatmu lelah dari masa sebelumnya? Membuatmu berkeringat ekstrak membesarkan lalu menambah air matamu ketika aku dewasa? Luka yang belum sembuh sebelumnya harus bertambah seiring berjalannya usiaku? Apakah benar begitu? 

Aku yang bodoh dan tidak tau ini bisa apa tanpamu? Kata terimakasih apa pantas ku ucapkan setelah semua duka yang kau tanggung untukku? Lalu apa sekarang? Kata maaf? Apa aku bisa dan pantas untuk di maafkan untuk semua yang menimpamu?

Ampuni lah aku Tuhan. Ampuni aku yang hanya bisa membuat ibuku bersedih. Hukum aku Bu, hukum anakmu yang berlumur kesalahan nan penuh dosa ini. Apa aku masih pantas untuk kehidupan yang kujalani ini? 

Apakah jika sejak awal engkau mengetahui anak yang kau kandung ini akan menjadi seorang yang bodoh dan tak berguna seperti sekarang ini masih Sudi kah engkau melahirkan ku? Untuk semua luka yang ku berikan, masih Sudi kah engkau mempertaruhkan nyawa untukku? 

Dari air ketuban mu yang pecah, darahmu yang habis dan air susu yang kau berikan. Menyesalkan kau dengan itu? Begitu pula dengan air mata dan keringat mu untuk sekian kalinya aku bertanya menyesal kah engkau wahai ibu melahirkan ku? 

Untuk semua sesalmu padaku meski seluruh bumi ini kuberikan padamu tidak akan ada apa-apanya untuk sakitmu. Bahkan untuk satu tetes air matamu yang kering di pipimu tak hilang. 

Untuk menyesali semua yang telah terjadi hanya akan membuat ku semakin terpuruk. Aku menyadari itu. Dengan kebaikan hatimu atas ijin Tuhan aku berada di rahim mu. Dekat bersama mu sembilan bulan lebih. Apa yang engkau masukkan kedalam mulutmu menjadi makanan ku pula di dalam rahim mu dengan kuasa Allah. 

Aku tumbuh, seiring berjalannya waktu tubuhku pun mulai terbentuk, hingga pada akhirnya sanggup untuk memecahkan ketubanmu yang telah melindungi ku. Membuat mu berdarah dan mempertaruhkan nyawa. Lalu aku sampai pada dunia dan dengan rakusnya meminum air yang ada dalam dadamu dan setelah dewasa apa? Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dusta kan? Untuk semua rasa syukur dan anugerah yang Tuhan berikan padaku. Ampuni aku Tuhan. Ampuni aku ibu. Hukum aku? Ibu... Hukum aku... Hukum.. hukum anak yang tidak tau diri ini. 

Perlahan tapi pasti, aku menatap mata sendu dan kulit yang sudah mulai berkeriput itu. Ibu. Nikmat Tuhan mana lagi yang ku dusta kan? Terpampang dengan jelas lewat mata itu meski tidak dia katakan. Tidak ada penyesalan barang sedikitpun. Seorang ibu tidak pernah menyesal melahirkan anaknya. Menjadi seorang ibu adalah anugrah terindah baginya. Tidak semua wanita diberi kesempatan melewati Pase pase itu. Meskipun demikian, tak sedikit pun harkat dan martabat seorang wanita berkurang di sisinya. Tuhan punya rencana nya. Tidak bisa melahirkan anak bukan berarti tidak bisa menjadi seorang ibu. Karna syarat wajib menjadi seorang ibu adalah punya hati yang kuat dan penyayang dari seorang wanita. Sesakit sakitnya melahirkan lebih sakit tak bisa melahirkan. Ada yang bilang begitu. Meskipun keduanya menanggung beban moral tersendiri. Sakit dari keduanya tak seorang wanita pun menginginkan nya tapi Tuhan tau apa yang terbaik untuk hamba-hamba Nya. Terimakasih Tuhan. Rencanamu memang yang terbaik. Tunggu persembahan dari ku ibu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun