Mohon tunggu...
Khof H
Khof H Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Mari menjadi tidak sederhana!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Sebuah Persembahan

14 Agustus 2020   00:00 Diperbarui: 13 Agustus 2020   23:59 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku yang bodoh dan tidak tau ini bisa apa tanpamu? Kata terimakasih apa pantas ku ucapkan setelah semua duka yang kau tanggung untukku? Lalu apa sekarang? Kata maaf? Apa aku bisa dan pantas untuk di maafkan untuk semua yang menimpamu?

Ampuni lah aku Tuhan. Ampuni aku yang hanya bisa membuat ibuku bersedih. Hukum aku Bu, hukum anakmu yang berlumur kesalahan nan penuh dosa ini. Apa aku masih pantas untuk kehidupan yang kujalani ini? 

Apakah jika sejak awal engkau mengetahui anak yang kau kandung ini akan menjadi seorang yang bodoh dan tak berguna seperti sekarang ini masih Sudi kah engkau melahirkan ku? Untuk semua luka yang ku berikan, masih Sudi kah engkau mempertaruhkan nyawa untukku? 

Dari air ketuban mu yang pecah, darahmu yang habis dan air susu yang kau berikan. Menyesalkan kau dengan itu? Begitu pula dengan air mata dan keringat mu untuk sekian kalinya aku bertanya menyesal kah engkau wahai ibu melahirkan ku? 

Untuk semua sesalmu padaku meski seluruh bumi ini kuberikan padamu tidak akan ada apa-apanya untuk sakitmu. Bahkan untuk satu tetes air matamu yang kering di pipimu tak hilang. 

Untuk menyesali semua yang telah terjadi hanya akan membuat ku semakin terpuruk. Aku menyadari itu. Dengan kebaikan hatimu atas ijin Tuhan aku berada di rahim mu. Dekat bersama mu sembilan bulan lebih. Apa yang engkau masukkan kedalam mulutmu menjadi makanan ku pula di dalam rahim mu dengan kuasa Allah. 

Aku tumbuh, seiring berjalannya waktu tubuhku pun mulai terbentuk, hingga pada akhirnya sanggup untuk memecahkan ketubanmu yang telah melindungi ku. Membuat mu berdarah dan mempertaruhkan nyawa. Lalu aku sampai pada dunia dan dengan rakusnya meminum air yang ada dalam dadamu dan setelah dewasa apa? Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dusta kan? Untuk semua rasa syukur dan anugerah yang Tuhan berikan padaku. Ampuni aku Tuhan. Ampuni aku ibu. Hukum aku? Ibu... Hukum aku... Hukum.. hukum anak yang tidak tau diri ini. 

Perlahan tapi pasti, aku menatap mata sendu dan kulit yang sudah mulai berkeriput itu. Ibu. Nikmat Tuhan mana lagi yang ku dusta kan? Terpampang dengan jelas lewat mata itu meski tidak dia katakan. Tidak ada penyesalan barang sedikitpun. Seorang ibu tidak pernah menyesal melahirkan anaknya. Menjadi seorang ibu adalah anugrah terindah baginya. Tidak semua wanita diberi kesempatan melewati Pase pase itu. Meskipun demikian, tak sedikit pun harkat dan martabat seorang wanita berkurang di sisinya. Tuhan punya rencana nya. Tidak bisa melahirkan anak bukan berarti tidak bisa menjadi seorang ibu. Karna syarat wajib menjadi seorang ibu adalah punya hati yang kuat dan penyayang dari seorang wanita. Sesakit sakitnya melahirkan lebih sakit tak bisa melahirkan. Ada yang bilang begitu. Meskipun keduanya menanggung beban moral tersendiri. Sakit dari keduanya tak seorang wanita pun menginginkan nya tapi Tuhan tau apa yang terbaik untuk hamba-hamba Nya. Terimakasih Tuhan. Rencanamu memang yang terbaik. Tunggu persembahan dari ku ibu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun