Kejadian ini, bagi orang lain mungkin terkesan biasa saja. Namun bagi saya cukup membuat geli di perut, karena keluarga saya sendiri yang mengalami.
Awalnya begini. Adik saya, perempuan belakangan ini menekuni kegiatan awalnya yaitu menjahit baju. Mungkin sudah menjadi bakat ibu saya yang menurun ke anaknya, hingga adik saya yang satu ini bisa membuat baju tanpa kursus menjahit. Dan tanpa disangka kemudian jahitan baju adik saya makin banyak. Karena memang hasil jahitannya walaupun dengan model sederhana, simpel, namun enak di pakai, pas di badan.
Dari beberapa penjahit yang selama ini saya tahu, memang metode, atau lebih tepatnya kebiasaan seorang penjahit dalam menerima jahitannya, ada yang melalui ukuran badan, dan ada pula yang melalui ukuran baju. Dan kebetulan adik saya dalam menerima jahitan akan lebih pas di badan cukup hanya dengan lewat ukuran baju yang biasa di pakai, jadi tidak harus  mengukur badan orang tersebut.
Nah, untuk lebaran kali ini, mengingat sedang dalam suasana prihatin, maka kami berencana untuk membeli bahan saja, dan menjahitkannya pada adik saya. Bahannya pun seragam, untuk anak perempuan di samakan dengan saya, ibunya, dan untuk satu anakku yang laki-laki di samakan dengan bapaknya, dengan membawa baju masing-masing, sebagai ukuran tentunya.
Ukuran baju yang di bawa untuk anak laki-laki saya memang mengambil baju yang lebih besar, mengingat pertumbuhannya terus bertambah, biar lebih awet, pikir saya.
Karena waktu mengantar jahitan sudah mepet, sehingga kami tidak sempat untuk memakai baju-baju kami yang sudah jadi tersebut, karena langsung di cuci, dan di setrika untuk di pakai besoknya.
Tibalah saatnya lebaran, Ahad 24 Mei 2020. Kami bangun memang agak kesiangan karena sama-sama tidur menjelang pagi hari. Saat anak laki-laki saya memakai baju, terlihat baju tersebut panjangnya melebihi pinggul, demikian pula lebar badan melebihi samping kanan kirinya badan anak saya. Sambil memakai baju kemudian anak saya seraya menyeletuk, "Ma, ko bajunya panjang banget yah?".
Melihat pemandangan tersebut, dalam hati saya bergumam, "Adikku, kenapa buat baju untuk anakku kebesaran? Padahal selama ini selalu pas", sempat dalam hati saya menyalahkan adikku. Karena tidak ada baju baru yang lain, maka di pakai saja baju yang kepanjangan tersebut ke Musholla oleh anak laki-laki saya, untuk berjamaah sholat Idul fitri.
Saat pulang shalat Ied, kemudian anak saya tersebut menanyakan baju yang sama, yang masih tergantung di tembok setelah di setrika sorenya. Karena memang anak saya tidak tahu kalau bajunya seragam dengan bapaknya. "Ma, lah ini baju siapa?", Demikian tanya anak saya.Â
Astaghfirullahaladzim, saya juga baru sadar, ternyata baju tersebut lebih kecil. Sadar, kalau baju yang menggantung tersebut punya anak saya. Dan benar saja, saat di pakai anak saya, ternyata lebih pas di badan. Oalah nak, nak, ternyata yang kamu pakai ke Mushalla tadi baju bapakmu. Akhirnya kami tertawa bersama. Ada-ada saja.
KBC-027/Kombes, Jateng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H