sampah. Lonjakan kunjungan wisatawan, terutama pada lokasi-lokasi populer seperti Malioboro dan Alun-Alun Kidul menyebabkan peningkatan produksi sampah plastik maupun organik. Meskipun upaya pengelolaan sampah telah dilakukan, tantangan terus muncul karena kurangnya kesadaran lingkungan dan infrastruktur pengelolaan sampah yang masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, disamping terus mempromosikan pariwisata, penting bagi Yogyakarta untuk mengimplementasikan strategi yang lebih efektif dalam mengelola dampak negatifnya terhadap lingkungan agar keindahan kota tidak terganggu oleh penumpukan sampah yang merugikan.
Yogyakarta -- Yogyakarta, dengan kekayaan budaya, sejarah, dan keindahan alamnya, telah menjelma menjadi destinasi pariwisata utama di Indonesia. Namun, popularitasnya sebagai kota tujuan wisata juga membawa dampak negatif, terutama terkait peningkatan volumeSampah Terpadu (TPST) Piyungan di Yogyakarta beberapa bulan lalu, perlu dijadikan momentum penting untuk merefleksikan dan memperbaiki sistem pengelolaan sampah di kota ini. Ditutupnya TPST Piyungan menandai kebutuhan mendesak untuk mengevaluasi praktik pengelolaan sampah yang ada. Pembelajaran dari kegagalan TPST Piyungan harus diarahkan kepada penerapan sistem yang lebih terencana, efisien, dan berkelanjutan. Inisiatif peningkatan kesadaran masyarakat terkait pemilahan sampah dan pengurangan penggunaan plastik perlu diperkuat, sementara infrastruktur pengelolaan sampah seperti tempat pembuangan akhir yang sesuai dan instalasi daur ulang harus ditingkatkan. Sebagai kota pariwisata yang berkomitmen terhadap keberlanjutan, Yogyakarta harus menggali peluang dan inovasi dalam pengelolaan sampah agar dapat menjaga keindahan alam dan warisan budaya kota tanpa mengorbankan lingkungan.
Penutupan Tempat PembuanganDalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 serta Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tertuang amanat untuk mengelola sampah yang bertumpu pada pengurangan dan penanganan sampah. Bank sampah muncul sebagai solusi efektif dalam menanggulangi permasalahan penumpukan sampah di berbagai kota, termasuk Yogyakarta. Dengan memberikan insentif kepada masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah dan mendaur ulangnya, bank sampah membantu mengurangi jumlah sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir. Melibatkan partisipasi aktif masyarakat, bank sampah tidak hanya berkontribusi pada pengurangan sampah, tetapi juga menciptakan ekonomi sirkular dengan memberikan nilai ekonomis pada barang-barang bekas yang dikumpulkan. Dengan membentuk jejaring kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha, bank sampah mendorong perubahan perilaku menuju kesadaran lingkungan dan keberlanjutan, sekaligus memberikan kontribusi positif dalam mengelola permasalahan sampah di tingkat lokal.
Pada bank sampah, kegiatan utama melibatkan proses pemilahan sampah oleh masyarakat setempat sebelum akhirnya dikirim ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) atau diolah melalui metode daur ulang. Proses pemilahan ini melibatkan pengelompokan sampah menjadi kategori yang berbeda, seperti plastik, kertas, logam, dan bahan organik. Selain itu, bank sampah juga mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan daur ulang, di mana barang-barang bekas yang terkumpul diubah menjadi produk baru dengan nilai ekonomis. Aktivitas daur ulang ini tidak hanya mengurangi volume sampah yang masuk ke TPST, tetapi juga menciptakan peluang lapangan kerja bagi warga setempat. Dengan cara ini, bank sampah tidak hanya menjadi pusat pengelolaan sampah, tetapi juga merangsang ekonomi lokal melalui kegiatan produktif yang melibatkan jual beli hasil daur ulang. Seiring dengan pendekatan ini, bank sampah bukan hanya solusi efektif untuk pengelolaan sampah, tetapi juga menjembatani antara keberlanjutan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H