Mohon tunggu...
Nurkaib Nurkaib
Nurkaib Nurkaib Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Orang biasa yang ingin tetap jadi orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Memahami dan Mengkritisi Pengertian Wakaf Menurut Undang-Undang Wakaf

29 April 2015   10:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="470" caption="Ilustrasi wakaf produktif berupa ruko. Keuntungan dari pengelolaan ruko disalurkan kepada masyarakat. Sumber: tabungwakaf.com"][/caption]

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mendefinisikan wakaf sebagai berikut:

“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syariah.”

Untuk memudahkan pemahaman atas definisi di atas, kalimat panjang di atas bisa kita pecah-pecah menjadi beberapa frasa. Pertama, perbuatan hukum wakif (orang yang mewakafkan hartanya). Artinya, perbuatan mewakafkan merupakan suatu perbuatan berimplikasi hukum, yaitu pindahnya kepemilikan. Harta yang diwakafkan seseorang tidak lagi menjadi miliknya sehingga ia tidak lagi diperkenankan bertindak atas nama harta tersebut. Misalnya si A mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid di atasnya. Secara legal, tanah yang sebelumnya mempunyai sertifikat hak milik (SHM) atas nama si A kemudian setelah diwakafkan diubah menjadi sertifikat wakaf atas nama pengelola wakaf (nazhir) yang ditunjuk si A. Yang kemudian berhak bertindak atas nama tanah tersebut bukan lagi si A, melainkan nazhir. Implikasi hukum lainnya, si A tidak bisa mewariskan, menjual, dan menggadaikan tanah yang sudah diwakafkannya itu. Kedua, untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya. Artinya, seseorang menyedekahkan sebagian hartanya. Di sini dikatakan “sebagian hartanya” karena pada dasarnya seseorang tidak diperkenankan mewakafkan seluruh hartanya karena di situ terdapat hak ahli waris setelah ia meninggal. Ketiga, untuk dimanfaatkan. Artinya, harta wakaf boleh dimanfaatkan, bukan dijual. Aset harta wakaf harus dipelihara dan tidak boleh hilang. Hanya manfaat dan hasil dari pengelolaannya yang boleh disalurkan dan dinikmati masyarakat. Keempat, selamanya atau untuk jangka waktu tertentu. Artinya, wakaf bisa berlaku untuk jangka waktu selamanya atau terbatas sesuai keinginan wakif. Pada wakaf selamanya, harta yang diwakafkan tidak bisa diambil kembali oleh wakif, sementara pada wakaf berjangka harta tersebut akan dikembalikan oleh nazhir kepada wakif setelah jangka waktu wakaf berakhir. Namun, undang-undang wakaf tidak membolehkan wakaf tanah untuk jangka waktu tertentu. Kelima, sesuai dengan kepentingannya. Menurut pendapat saya, istilah “kepentingannya” perlu diubah karena dalam konsep wakaf tidak ada istilah “kepentingan wakaf”. Yang ada adalah “peruntukan wakaf”, yaitu tujuan penggunaan harta wakaf. Dengan demikian, frasa tersebut perlu diubah menjadi “sesuai dengan peruntukannya.” Contoh peruntukan wakaf: si B mewakafkan tanahnya untuk dibangun menjadi panti yatim; si C mewakafkan tanahnya untuk dikelola secara bisnis dan hasilnya disalurkan sebagai beasiswa pendidikan; si D mewakafkan perusahaannya untuk kemaslahatan sosial. Kata “untuk dibangun menjadi panti yatim”, “untuk dikelola secara bisnis dan hasilnya disalurkan sebagai beasiswa pendidikan”, dan “untuk kemaslahatan sosial” dinamakan peruntukan wakaf. Jadi, Dengan demikian, nazhir dalam mengelola dan memanfaatkan harta wakaf harus berpedoman pada peruntukan wakaf yang sudah ditetapkan nazhir. Jika wakif menetapkan wakafnya untuk beasiswa pendidikan, maka penyaluran hasil pengelolaan wakaf tidak boleh digunakan untuk pembangunan masjid. Demikian juga sebaliknya. Namun, dalam kondisi tertentu, peruntukan bisa diubah dengan meminta izin kepada Badan Wakaf Indonesia. Keenam, guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syariah. Artinya, peruntukan harta wakaf harus untuk keperluan ibadah atau kemaslahatan sosial yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jadi, tidak boleh jika seseorang mewakafkan hartanya dengan tujuan hasil pengelolaan hartanya untuk mendirikan tempat-tempat maksiat. Kesimpulannya: 1.    wakaf adalah suatu perbuatan hukum; 2.    harta wakaf harus dijaga keabadiannya; berbeda dengan harta sedekah dan zakat. 3.    yang disalurkan kepada masyarakat adalah manfaat dan/ atau hasil dari pengelolaan harta wakaf, bukan aset wakafnya; 4.    wakaf bisa selamanya maupun berjangka; 5.    tidak boleh mewakafkan seluruh harta benda, kecuali ada persetujuan dari semua ahli waris; 6.    pengelolaan harta wakaf dan penyaluran manfaat/hasil kelola harta wakaf harus sesuai dengan peruntukan wakaf; 7.    peruntukan wakaf tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili lembaga Badan Wakaf Indonesia, tempat penulis bekerja saat ini. Berikutnya insya Allah penulis akan menjelaskan dan mengkritisi soal peruntukan wakaf.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun