Tapi tidak, Dan. Ternyata waktu tak sanggup memberanguskanmu.
Aku masih terkungkung dalam lamunan, barangkali saja Tuhan mau mengabulkan doaku. Kulantunkan munajat di setiap sepertiga malam. Kutulis harapan itu pada sepotong kertas, kumasukkan dalam botol, kulempar sejauh bisa ke arah laut sana. Berharap suatu saat bila ada yang menemukannya ia akan mengadukannya pada langit.
Kutulis lagi. Kuletakkan di bawah bantal. Berharap kau melamarku dalam tidur. Tapi itu tak pernah terwujud. Kemudian surat itu kutitipkan pada pria-pria salih. Di gereja-gereja, wihara-wihara dan masjid-masjid, agar Tuhan mau membaca harapanku. Tapi sekian waktu kau masih saja ambigu. Tak ada apa-apa di sana, Dan. Tak ada tubuh ringkih yang pernah kau puja dulu.
Aku marah. Kesal. Tak mau lagi berharap. Dan tak mau menginginkan apa-apa lagi. Hingga suatu hari putrimu menarik tanganku, menuntun pada sebuah pusara.
"Mama, sudah dua puluh tahun. Relakan ...."
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H