Berharap. Setiap orang pasti punya harapan. Tapi tidak aku. Sudah lama aku tak mau lagi  berharap. Percuma. Harapan itu ibarat udara di ujung sedotan saat terkurung dalam sumur kegelapan. Aku bisa menghirupnya tapi tak dapat hidup lama dengannya. Harapan adalah tipuan.
Dan Danu, kau pria tertampan pertama yang kukenal. Aku mencintaimu setulus hati. Bahkan namamu serupa dengan angin yang terus bergerak mengikutiku.
***
Semilir angin meniup rambutmu perlahan.
"Dan, kapan kau mau menikahiku?"
Kau terdiam. Hanya duduk di salah satu besi itu. Mulai mengayunkan kaki, lalu bergerak ke depan dan belakang.
"Entahlah. Aku tak tahu."
Kau payah, Dan. Selalu itu saja jawabanmu. Bahkan kematiannya tak lantas membuatmu mengerlingku. Mengapa kau tak mau melupakannya? Dan lihat perutku. Aku berharap kita beriringan di depan altar. Mengenakan warna kontras hitam putih dan melempar buket ke arah para jejaka dan gadis di sana.
"Dan, sampai kapan kita begini?"
Kau tertunduk.Tubuh masih kau sandarkan di atas kursi besi bertali itu. Kau sama persis dengan ayunan itu, Dan. Hanya bergerak maju mundur tak pernah sampai ke satu titik tertentu. Kau tak pernah bisa memberi keputusan apa-apa.
Aku mulai bosan. Andai aku pergi Dan, kau tentu akan tinggal di tempat. Menunggu orang lain datang memontang-pantingkanmu ke sana ke mari saja.Baiklah, aku pergi saja sekarang.