Mohon tunggu...
Nur Jannah
Nur Jannah Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Hobi membaca fenomena dan menulis alam, memasak, travelling dan merencanakan masa depan anak negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbah Rukmo Pingin Umroh #1 of 2

9 Februari 2023   07:11 Diperbarui: 9 Februari 2023   08:52 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MBAH RUKMO PINGIN UMROH #1

Mbah Rukmo sudah tua. Usianya mulai mengujung. Bahkan belakangan dia sering memimpikan istrinya. Mbah Rukmo kesepian semenjak istrinya wafat dua tahun yang lalu. Untungnya, anak keempatnya, Yuni, tinggal bareng dengan Mbah Rukmo setelah menikah dengan Kirno. Sedangkan tiga anak yang lain dengan keluarganya tinggal di luar kota dan jarang berkunjung.

Wardana, anak pertama, di Surabaya. Dia sudah jadi pengusaha minyak sayur yang cukup sukses di sana. Miranti, anak kedua, dibawa suami. Dia jarang datang karena dilarang oleh suaminya itu. Yandi, anak ketiga, tinggal bareng mertua karena istrinya anak tunggal.

Sore itu Mbah Rukmo tengah melamunkan istrinya.

"Ada apa, Bu? Kok sering datang? Apa mau menjemputku?" Lamunan Mbah Rukmo.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan mainan.

"Treet...tree...treeet....Dor!" teriak Denis, anak Yuni.

"Aaaa.....," Mbah Rukmo terkulai lemas mati. Pura-pura.

"Ha...ha...ha...aku menang...aku menang...," seru Denis kegirangan.

Tiba-tiba Mbah Rukmo bangun. Dengan serta merta pria tua itu memeluk Denis. Diciumi cucunya satu itu.

"Aduh, Cah Bagus, ngageti Mbah," Mbah Rukmo tertawa terkekeh-kekeh. Teringat cucunya yang lain. Gimana cucu-cucuku yang di sana ya? Aku kangen. Kapan bias ngeliat mereka lagi. Paling-paling nanti pas lebaran. Mbah Rukmo membatin. Apa lebaran ini aku masih bisa kumpul sama anak cucuku semua? Rasanya aku hampir menyerah pada usia yang tambah renta ini. Tapi sebelum usia benar-benar purna, aku ingin sekali mengunjungi ka'bah. Menyempurnakan agama. Agar tunai rukun Islamku. Tapi biaya dari mana? Pergi haji kan mahal sekali.

"Umroh saja dulu, Mbah," kata Kirno. Panggilannya membiasakan Denis menyebut Mbah. "Murah. Cuma delapan belas juta. Nggak pake daftar segala lagi Mbah," lanjutnya.

"Oh ya?" Mbah Rukmo semangat.

"Iya. Delapan Belas juta langsung berangkat."

"Delapan belas juta?"

"Iya Mbah."

Mbah Rukmo membayangkan dari mana dapat uang delapan belas juta. Aku punya rumah yang sekarang aku tempati. Tapi kalau ini dijual, di mana Yuni dan keluarganya tinggal? Mana mungkin mereka bisa membayar kontrakan bulanan yang mahal-mahal. Lagian ntar aku juga tinggal di mana? Bisa umroh tapi tinggal di kolong jembatan. Walah!

Mbah Rukmo menghayalkan keempat anaknya urunan. Delapan belas juta kalau aku bagi berempat sekitar lima jutaan. Ah, apa mereka bisa dan mau urunan? Tak apalah, akan aku coba minta. Sekaligus aku ingin melihat anak yang mana yang paling peduli padaku.

Sesudah sholat isya dan mengaji, malam itu Mbah Rukmo memanggil Yuni dan Kirno.

"Yun, Bapak pingin sekali umroh,...." Mbah Rukmo menggantung kalimatnya. Melihat reaksi kedua anak mantunya.

"Kata suamimu, biayanya delapan belas juta." Kirno manggut-manggut separuh ngantuk. Kayaknya sudah capek tadi siang manggul barang di pasar banyak sekali.

"Anak Bapak ada empat. Bapak minta tiap anak nyumbang lima juta," lanjut Mbah Rukmo.

Kali ini Kirno membelalak. Tiba-tiba ngantuknya hilang. Yuni memandang ke arah suaminya. Sebelum keduanya menjawab apa-apa Mbah Rukmo minta Kirno menuliskan pesan sms.

"Assalamu alaikum, Bapak pingin umroh. Minta sumbangannya lima juta. Sukur-sukur kalau lebih. Ditunggu balasannya besok pagi jam delapan." Tiga kali sms yang sama terkirim ke nomor yang berbeda.

"Sudah, No?"

"Sudah, Mbah," jawab Kirno.

Sesudah itu Mbah Rukmo berangkat tidur dengan sesungging senyum di bibir. Tinggal tunggu bagaimana jawaban anak-anaknya besok. Perlahan ia mulai memejamkan mata sambil bergumam, "Labbaikallah humma labbaik..." Mbah Rukmo tertidur pulas.

Mbah Rukmo tidak mendengar pembicaraan Yuni dan Kirno malam itu.

"Mas, dari mana kita bisa menyumbang Bapak?" suara Yuni.

"Aku juga belum tahu, Yun. Mana mungkin mendapat lima juta dalam waktu singkat. Pendapatanku kan cuma cukup untuk masak harian saja," suara Kirno.

"Apa bisa pinjam dari temanmu barangkali, Mas?" usul Yuni.

"Halah, teman-temanku ya kayak aku. Sama-sama buruh. Podho kerene," sahut Kirno mengetuk-ngetuk jidatnya sendiri.

"Ya, jadi gimana ya? Dari mana?" Yuni mulali linglung.

"Padahal kakakmu yang di Surabaya kan orang kaya. Pengusaha," Kirno berusaha mengingatkan Yuni. "Harusnya dia aja yang nanggung seluruh biaya umroh Bapak."

"Ah, aku ragu. Mas Wardana kan jahat. Sering membenci Bapak. Dulu saja pernah diutang untuk pernikahan kita malah ngamuk-ngamuk. Katanya kita yang mau kawin kok dia yang harus keluar uang. Huh, mas macam apa dia." Yuni mendengus.

"Iya, terlalu. Tapi kita juga sih yang salah. Kurang persiapan," aku Kirno.

"Kita? Kamu saja barangkali," protes Yuni. "Kan kamu yang laki-laki."

"Lah kamu juga salah," Kirno berusaha berkelit. "Dah tau aku cuma buruh, kenapa mau sama aku?"

Mendengar jawaban suaminya Yuni jadi manyun. Kirno memegang pundak Yuni, berusaha menenangkannya.

"Gini aja Yun Cay, Yuni Cayang. Aku juga mampet. Kita doakan saja ya, Mas Wardana mau nolong Bapak. Niat Bapak kan baik. Allah pasti mengabulkan." Ucapan dan sentuhan lembut Kirno itu memang sedikit melegakan hati Yuni. Manyunnya hilang,

"Ya sudah, kita tunggu dulu balasan sms dari yang lainnya ya, Mas."

"He eh."

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun