Akhirnya aku dan abang tes Swab , Â meski sedikit sakit rongga hidung kami namun kami yakin ini adalah nyala lilin yang mesti kuhidupkan agar lebih jelas dan gamblang apa sebenarnya yang terjadi. Dua hari menunggu hasil tes Swab benar-benar menyiksa. Kondisi abang makin parah, namun tetap saja ia tak mau ke dokter sebelum hasil tes Swab keluar. Aku sendiri merasa baik-baik saja, meski kemudian daya penciumanku menurun tajam. Kupikir ini hanya akibat demamku beberapa hari yang lalu yang dibarengi dengan pilek dan batuk kecil. Penyakit yang biasa kualami, buatku yang mempunyai riwayat alergi .
Â
Tetiba masuk pesan yang tak biasa di ponselku. Pesan dari Laboratorium, tepatnya hasil tes Swab. Â Abang negatif dan aku positif. Aku bahagia orang yang kucintai bebas dari virus itu, namun aku juga duka karena aku Chofidah telah disusupi oleh Covid-19 secara tak terduga. Air mataku meleleh, ponselku basah bajuku juga basah. Tak terasa sekian hari aku merawat abang yang sakit , ternyata aku juga sakit . Sakitku sakit misteri, misteri virus yang tetap saja menyimpan baying-bayang teka-teki.
"Dik Chofid, jangan menangis. Abang sedih melihat bulir-bulir air matamu. Lebih sedih lagi karena abang tak bisa menghapus air matamu apalagi memelukmu," ucap  abang.
Kata-kata yang tulis dari sosok laki-laki yang kupilih untuk menjadi suamiku. Laki-laki itu benar-benar tulus ungkapkan isi hatinya. Aku dan abang berpisah kamar, berpisah piring dan gelas, bermasker di rumah dan duduk jauh berjarak. Tubuhku dan abang terpisah jarak, meski jiwa kami meronta dan menolaknya. Sekedar mengirim pesan cukup membuat dahagaku terobati ("abang aku kangen" dan terbalas "dik Chofid, abang juga kangen") . Â Hal itu membuat hatiku berbunga-bunga, bunga hatiku merekah merah dan cerah. Bahkan rona bunga bahagia itu membersit di pipiku tanda bahagia.
      Hari-hari isolasi mandiri di rumah kunikmati dengan sepenuh hati. Chofidah mesti berdamai dengan Covid, begitu tekadku. Berkotak obat herbal Arab maupun China, buah-buahan, vitamin dikirm oleh anak-anakku. Aku sengaja tak hendak cerita pada siapapun teman atau sahabat, aku tak sanggup saja menampung pertanyaan di saat-saat aku butuh istirahat total. Tekadku untuk bercerita, ketika aku insyaaAllah bisa berdamai dengan Covid-19 ini.
      Namaku Chofidah, jurus pertama yang kuambil adalah jurus ikhlas dan  tawakal  kepada Allah swt. Setiap titik taqdir adalah sebuah keniscayaan, ia tidak hadir begitu saja melainkan telah termaktub di Lauhul Mahfudz. Ikhlas hamba menerima setiap taqdirMu, begitu tekadku dalam hati. Keikhlasan  ini justru berbuah manis, karena setiap detik ketika tubuh dan jiwaku menyambut tamu yang bernama Covid-19 ini justru menghasilkan enegi positif.
      Namaku Chofidah, jurus kedua yang kuambil adalah Husnuzon kepada Allah swt. Husnuzon membuatku merasa bahwa Allah swt menghadirkan virus Covid-19 untukku bukanlah tanpa arti. Aku yakin ada pembelajaran luar biasa yang bisa kupetik agar aku makin taat dan dekat kepada Alah swt dan agar agar aku makin rajin berkarya dan berbagi selama aku masih diberi kesempatan bernafas di dunia-Nya.
      Namaku Chofidah, demikian memang namaku. Aku ceritakan kembali perjamuanku bersama Covid-19.Perjamuan dua mahluk Allah swt, Chofidah dan Covid ..........................
Bersambung ...........................................
Â