Halaman buku keduniaanku sebagian besar telah disita oleh Amanda.  Meksipun Ibundaku  yang makin renta ingin menyaksikanku menikah dan memiliki anak sendiri, namun agenda tersebut telah terhapus dalam memoriku. Bagiku, Amanda adalah sosok amanah sang Khaliq untukku. Untuk seorang perempuan lajang yang mapan dan tak sedikitpun memikirkan pernikahan.
Tak ada yang tahu mengapa aku jadi polos dan naif menghadapi semua hal tentang Amanda. Polos  dan lugu, sehingga aku cuma bisa angguk angguk dan setuju ketika Amanda terpilih untuk mendapatkan beasiswa penuh dari  sebuah perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang merekrut calon mahasiswi dan mahasiswanya dari sekolah ke sekolah.
Pencarian bibit unggul ini diawali dengan sebuah iklan yang dipasang melalui sosial media. Terpampang indah di iklan tersebut bahwa negara sedang mencari bibit unggul untuk menempuh pendidikan mahasiswa berbakat.
Kabarnya para kandidat pada tahun kedua diperbolehkan menempuh studi di perguruan tinggi mana saja di dalam negri. Meskipun tahun pertama akan diisi dengan pendidikan khusus yang dilaksanakan secara ketat dan disiplin.
Pendidikan khusus untuk para bibit unggul negri, itu yang selalu kusampaikan kepada siapapun tentang pendidikan putriku Amanda. Pada akte kelahiran  , ijazah maupun dokumen lainnya Amanda tetap kudaftarkan dengan nama Amanda Rossa Utomo.
Meski cintaku lahir batin padanya selayaknya seorang ibu kandung , namun masih terbersit di hati kecilku agar Amanda suatu saat bertemu dengan orang tua kandungnya. Kini Amanda melangkah menuju dewasa, ia segera mengikuti pendidikan khusus  yang telah ia menangkan beasiswanya tersebut.
Satu hari setelah berangkat menuju asrama , Amandaku terasa terbang entah kemana. Apakah ini pendidikan khusus yang benar-benar khusus. Sehingga Amandaku yang ceria dan rajin menyapa aku mamanya tiba-tiba  hilang ditelan bumi.
Tiada berita apalagi sapa. Dimana kamu Amanda ?  Hati mama seperti bilik penjara, makin lama makin sunyi, seram dan mencekam. Mama galau, bercampur aduk rasa sedih, cemas, khawatir, gelisah, pilu terasa beraduk  dalam bejana gulana tak menentu.
Menghitung hari, barangkali itulah yang tepat. Seperti pesakitan di bilik pengap, aku cuma bisa mencoret jumlah hari-hari Amanda meninggalkan rumah . Ketika coretan makin membumbung jumlahnya tepatnya setelah 8 bulan berlalu , aku baru disiram sejuk oleh sebuah pesan di ponselku. "Mama, apakabar ? ini Amanda ma, Amanda baik-baik saja disini
Amanda bersyukur terpilih jadi salah satu kader istimewa negri ini. Mama sabar ya, tak lama lagi Amanda pulang. Hanya beberapa bulan lagi ya ma. Peluk cium buat mama. Love -- Amanda Rossa utomo". Aku bahagia, namun bahagiaku tercemar limbah duka . Bahagiaku seperti tercekat diujung tenggorokan, bagai batuk parah yang tak tertuntaskan. Amanda, Amanda.........mama rindu sayang.
Aku tetaplah aku, perempuan tegar yang pandai mengolah rasa duka dan menyimpannya dalam bejana. Sehari-hariku tetaplah berjalan seperti biasa. Aku tak pernah menumpahkan duka dan kegalauanku tentang Amanda pada siapapun termasuk ibu.