Mohon tunggu...
Nur Janah Alsharafi
Nur Janah Alsharafi Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

ibu 4 anak dengan sejumlah aktivitas . Tulisan-tulisan ini didokumentasikan di blog saya : nurjanahpsikodista.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bubur (1)

21 Agustus 2019   03:25 Diperbarui: 24 Oktober 2020   00:46 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami Telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi ?  "                                      [QS :al-'Ankabut/29:2]

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Berapa harga sosok dirimu ? Jika perjalanan panjang sebuah cinta dan setia ditenggelamkan dalam sekolam pengkhianatan. Berapa lagi harga jiwamu ? Jika setumpuk buku tebal sebuah pengabdian hidup dicampakkan dalam jurang kebohongan. Dan itu ada semua pada dirimu mas.

Di mataku sedikit pun tak pernah terlintas bayangan sosok iblis yang bermake up tebal itu sebagai perusak taman cinta kita. Aku tak menyangka jika seleramu adalah selera gincu merah menyala , perona pipi pasaran dan parfum murah menyengat. Terus terang aku tak mungkin dan tak sanggup bersaing dengan iblis betina bermake up tebal itu. Aku perempuan sederhana mas. Peralatan kosmetik di tasku hanyalah sebuah lipgloss , parfum jasmine dan sebuah spray penyegar wajah. Aku tak pernah mengenal gincu merah menyala dan sejenisnya. Bagiku itu sudah lebih dari cukup, karena aku menyajikan sebuah kesucian dan ketulusan buat suamiku, yaitu kamu mas.

Mas, benarkah kau sudah bosan dengan kesucian cinta kita. Barangkali saat ini kesucian cinta kita rasanya sudah terlalu tawar untuk sebuah bubur kehidupan yang sangat ekstrim. Kesucian cinta kita bagimu sudah seperti bubur beras putih yang hanya sedikit dibubuhkan garam, benar hanya garam. Garam itu adalah garam kehidupan cinta kita sejak kita berkenalan 20 tahun yang lalu di sebuah perhelatan kampus. Garam itu makin lama makin bertambah ketika setahun sesudahnya kita memutuskan untuk mengukuhkan hubungan kita dalam tali pernikahan. Terus saja kita bersama bergandengan tangan untuk  terus menebarkan garam kehidupan sebagai suami istri. Bahkan kemudian sebagai ayah dan bunda buat anak-anak kita.

Mas, Garam yang kita tabur makin banyak dan asin ketika kita mulai diuji oleh sang Khaliq dengan berbagai cobaan kehidupan. Ujian itu datang ketika kita kehilangan anak pertama kita di usia kandunganku yang baru 3 bulan. Asinnya ujian tersebut sedikit tawar kembali ketika kemudian lahir  Alif , Ain  dan Afwan  yaitu  3 buah hati kita. Mereka bertiga lahir di tahun keempat, ketujuh dan kesepuluh pernikahan kita. Aku sayang mas pada ketiga putraku yang tampan dan cerdas itu. Selain tampan dan cerdas, mereka bertiga juga anak-anak yang sholeh dan luhur budi pekertinya. Saat itu kita bahkan  sangat bersemangat bersama-sama mengaduk bubur kehidupan itu. Dengan semangat cinta kita bubuhkan bumbu-bumbu ke dalam bubur itu sehingga bubur kehidupan kita makin lezat mas. Kadang aku jadi mangkuk dan kamu jadi sendoknya, namun adakalanya sebaliknya. Apapun peran kita saat itu, tetap saja tawa dan canda menghiasi kehidupan kita sekeluarga mas. Kita tambahkan rasa syukur kita dalam ibadah diri maupun ibadah sosial. Kita makin bahagia dalam sujud pada Illahi maupun pada tawa canda anak yatim dan dhuafa.

Bubur  kita terlalu panas mas. Lidahku melepuh mas. Aku bahkan tak bisa bicara lagi. Kata-kataku tetiba habis punah, seperti kamus tua yang rapuh dan robek berserakan. Kata-kataku terasa  pelit dan mubazir , seperti pasien sakaratul maut yang berhemat kata untuk pesan-pesan terakhirnya. Benar mas, kata-kataku tetiba terbang dihempas angin. Kata-kataku terkunci, diam, mandeg menyaksikan sosokmu yang tertangkap basah aparat desa seberang. Sosokmu yang sedang berpelukan dengan iblis betina bergincu merah menyala.

Mengapa kau tak jujur mas ? Mengapa tak kau ceritakan saja jika nafsu biologismu seperti kuda binal di pacuan sana. Kuda binal yang ingin berlari kencang menyusuri lembah dan pegunungan. Kuda binal yang tak pernah puas dengan seteguk dua teguk air saja. Kuda binal yang harus meneguk air kolam hingga menyeringai kekenyangan. Jika kau jujur, aku ikhlaskan dirimu untuk menambah lagi bidadari yang kedua, ketiga bahkan keempat. Aku siap berbagi mas, berbagi suami dengan para bidadari.

Aku jatuh mas, aku terkejut, aku tak kuasa menyaksikan kenyataan ini. Iblis betina bergincu merah menyala adalah episode tergelap kehidupanku mas. Aku tak pantas lagi menggunakan kata "kita" untuk diriku dan dirimu mas. Kata "kita" bagiku terlalu suci, jika kupaksakan diriku untuk menerima uluran maafmu. Mas, katakan mengapa kau setega itu mas ?

Bayangan iblis betina bergincu merah menyala terlalu kuat melekat di mataku mas. Ia bahkan telah mengganggu pendengaranku ketika aparat desa seberang menceritakan kembali bunyi erangan dan desahan kalian berdua. Ia bahkan menusuk hidungku ketika aparat desa seberang menceritakan betapa menyengatnya wangi parfumnya. Mas, benar mas bayangannya teramat kuat. Ia telah kuasai segenap indraku mas. Aku terpuruk mas, bauku kalah telak dengan baunya. Warna bajuku kalah telak dengan warna bajunya. Merdu senandungku kalah telak dengan erangan dan desahan suaranya. Aku, perempuan yang kau petik suci dengan persembahan darah perawan tiba-tiba kau jerembabkan hanya karena iblis betina bergincu merah menyala.

Mas, saat ini aku terus berdoa pada Illahi Robbi. Aku tinggalkan mangkuk bubur kehidupan yang asin keterlaluan. Aku khusyuk memohon ampun dan mukjizatNya. Agar aku dapat kembali mengaduk bubur kehidupanku menjadi bubur lezat kehidupan kita. Aku pasang impian indah dalam visualisasi doaku padaNya. Meski saat ini titik nadir kepahitan sedang kurasakan, aku tetap tersenyum dalam doa dan shalatku yang panjang. Aku tetap senyum meski air mataku berurai deras. Aku ikhlaskan  semua yang terjadi, aku sedang memohon tangga untuk berdiri kembali. Aku yakin Illahi berbaik hati, berikan bumbu lezat kembali untuk bubur kehidupan kita. Aku yakin Illahi berbaik hati, berikan warna indah kembali untuk bubur kehidupan kita. Aamiin ya Robbal alamiin

(Kisah pahit seorang perempuan yang sedang terpuruk dan mencoba bangkit, ijinkan hambamu yang faqir ilmu ini membantunya)

Batoh, 21082019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun