Mohon tunggu...
Nur Janah Alsharafi
Nur Janah Alsharafi Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

ibu 4 anak dengan sejumlah aktivitas . Tulisan-tulisan ini didokumentasikan di blog saya : nurjanahpsikodista.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Madu Manis atau Madu Pahit?

16 Juni 2019   01:14 Diperbarui: 20 Juni 2019   05:28 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SATU

Seperti Winnie the Pooh yang gemar minum madu, itulah sejatinya suamiku. Menjalankan sunah rasul yang konon mengawetkan ingatan adalah salah satu dahsyatnya madu. Di manapun kami pergi, selalu saja madu adalah komoditi pertama yang wajib dicari. 

Di kawasan Timur Tengah jika kita memang mau fokus berburu madu di pasar, akan kita dapatkan madu dengan kualitas prima. Entah itu pasar modern maupun pasar tradisional. 

Tapi yang aku heran, di kawasan barat pun tetap saja topik pembicaraan utama adalah dimana mencari madu yang bagus dan berkualitas prima. Benar-benar suamiku memang hobi  banget akan madu .

Berjajar madu Arab hingga madu Australia, tetap lezat di lidah suamiku. Dengan gaya mencicip yang khas,  dilanjutkan dengan  merogoh kocek atau mengeluarkan kartu untuk menebus sebotol atau dua botol madu untuk dinikmati. 

Merupakan gaya tersendiri dalam bercengkrama dengan madu-madu ini.  Madu, bagi bang Bachtiar tidak saja sebagai  obat yang berkhasiat untuk memulihkan stamina. Madu bisa berfungsi sebagai selai yang lezat untuk dioles ke roti tawar.  

Madu juga difungsikan sebagai sirop yang lezat  untuk dicampur dengan segelas air. Bahkan  acapkali madu juga lezat berfungsi sebagai saos untuk dinikmati bersama kudapan ringan seperti pisang bakar, pisang goreng, serabi , pukis  dan sebagainya. Jelasnya bang Bachtiar suamiku benar-benar pecinta madu sejati.

Seni  berburu , membeli , mencicipi dan membawa botol madu ke rumah kadang penuh liku dan tantangan. Bagaimana sarang madu asli harus dikemas dan dijaga setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer merupakan sebuah tantangan yang asyik. Adakalanya mesti menempuh perjalanan ribuan kilometer jauhnya untuk sekedar menenteng botol madu.

"Ini madu asli dik"

"Madu hitam, khasiatnya masha Allah. Saya bawa satu, dik Nur bawa satu ya"

"Kita tenteng saja, biar aman di pesawat"

Aku senyum senyum saja sambil mengangguk, adakalanya aku iri juga dengan botol botol madu itu. Terlalu istimewa diperlakukan, namun tak apalah toh aku juga menikmati si madu tersebut  meskipun tak rutin seperti suamiku.

DUA

Aku tak kuasa untuk tidak meneteskan air mata. Kisahnya terlalu menyanyat kalbu. Kisah hidupnya seperti kisah sinetron Indonesia. Aku bahkan hampir tak percaya kalau kisah yang diceritakan itu nyata. Benar itu nyata, bukan kisah di dunia maya yang kadang hanya isapan jempol belaka.

"Ibu, kenyataannya aku sekarang dimadu"

"Maduku masih muda, baru usia 28 tahun. Hampir sebaya anak sulungku yang kini menginjak 25 tahun"

"Maduku dulu adalah sekretaris suamiku bu"

"Waktu itu ia begitu baik, rela overtime, rela ke rumah bahkan sering membantuku ketika kesibukanku sebagai istri pejabat BUMN sedang padat. Ia benar-benar sekretaris yang hebat"

"Maduku itu bernama Madu, lengkapnya Sri Madusari. Ia memang Madu bu, namun teramat pahit buatku. Madu tak hanya mengurusi pekerjaannya di kantor, atau sesekali membantu mengurusi rumahku ketika aku sibuk. Namun  Madu akhirnya mengurusi suamiku lahir dan batin. Madu telah mengajarkanku akan artinya kepalsuan, kemunafikan, pengkhianatan dan entah apalagi",   kalimat itulah yang berulang-ulang keluar dari mulutnya.

Perempuan itu nampak lunglai dan pasrah, ia seperti sudah tak hendak untuk berkelahi melawan "musuh"nya. Terserah orang mau bilang apa, "biarlah aku pura-pura tak tahu menahu" demikian gumamnya. Ia telah bertekad untuk menyimpan madu yang paling pahit di jurang jiwanya yang terdalam. Ia kubur dan ia tabur berlapis memori masa depan. Baginya madu ternyata teramat pahit dan sakit, seperti cairan pekat yang menghimpit kerongkongannya hingga benar-benar sempit dan tak kuasa lagi menjerit.

 TIGA

Telpon itu berdering beberapa kali, aku angkat juga meski sedikit mengantuk. "Bu, anak saya baru pulang dari hutan. Ia membawa madu asli, benar-benar asli. Jika ibu berminat, saya akan mengantarnya ke rumah ibu"  kata bu Nafsiah (nama samaran) setengah teriak kepadaku via telpon. 

Awalnya aku sama sekali tak tertarik, teringat beberapa kali promosi madu asli yang tak seindah warnanya. Promosi madu asli biasanya berbuntut penyesalan dan ketidakpuasan karena tiap tes yang dilakukan justru si madu yang lebih dahulu menampilkan kegagalan (Misalnya :  tak beku di kulkas, tak dikerumuni semut dan sebagainya).

"Berapa harga madunya bu? Tanyaku. Ia menyebutkan angka yang wajar dan selanjutnya transaksi madu asli pun berjalan. Aku berharap madu yang kubeli kali ini benar-benar madu asli dan memuaskan. Akhirnya kuperhatikan bagaimana suamiku yang telah terbukti berpengalaman dalam mengkonsumsi madu , memberikan komentarnya tentang madu ini.

"Dimana kamu beli madu ini, dik ?" Tanya suamiku. Aku berpikir mungkin rasa madu ini tak memuaskan, sehingga suamiku menjadi sangat  berkepentingan untuk urusan rasa madu hutan ini. Tapi ekspresinya positif, bahkan senyum dan kepuasan tercermin di wajahnya.

Setelah kuceritakan dimana kubeli madu ini, bang Bachtiar memintaku untuk membelinya lagi. "Madu ini benar-benar paten" begitu katanya bersemangat. Madu hutan ini ternyata mampu menaklukkan hatinya. 

Kutelpon bu Nafsiah, keceritakan tentang minatku untuk "meminang" madu-madunya kembali.  Beberapa saat Bu Nafsiah datang ke rumah. Sambil bercerita terlihat jelas betapa senyum dan kaca kaca menyerumbul di wajahnya. Ternyata putra semata wayangnya yang telah yatim sejak lama , nekad memanen madu di hutan untuk kebutuhan sekolahnya. Menutup seluruh tubuh dan wajah, menggunakan pisau, menggunakan tali dan baldi  atau entah apa lagi dilakukan remaja tersebut agar rejeki halal melalui manisnya madu-madu hutan ia dapatkan.

"Madunya sudah habis bu" kata bu Nafsiah

"Nanti kalau si Gam ke hutan lagi , akan saya simpan dua botol buat ibu dan bapak"

Biarlah si Gam tetap sekolah. Buku tabungan tetap boleh bertambah meskipun madu hutan belum siap dipanen. Si Gam yang cerdas dan bersemangat untuk sekolah tak hanya anak bu Nafsiah, namun juga anak kita semua.

Batoh, 15 Juni 2019    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun