Mohon tunggu...
Nur Janah Alsharafi
Nur Janah Alsharafi Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

ibu 4 anak dengan sejumlah aktivitas . Tulisan-tulisan ini didokumentasikan di blog saya : nurjanahpsikodista.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Daffodil, Tsunami di Pantai Anyer

17 Januari 2019   00:21 Diperbarui: 24 Oktober 2020   00:49 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Image from :  https://www.almanac.com/plant/daffodils

Memimpikanmu adalah sebuah kelancangan yang luar biasa. Aku bahkan tak pernah membayangkan akan bertemu langsung dalam sebuah ruang yang sangat leluasa seperti itu. Biasanya aku hanya membaca diam-diam setiap tulisanmu. Bahasa yang kau tuliskan, adalah sebuah bahasa langit yang membuatku selalu merasa bodoh. 

Aku membutuhkan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk bisa melumat dan mencerna bagian demi bagian huruf huruf yang kau tata indah dalam kalimat kalimat langit yang apik. Bahasan yang sangat biasa di tanganmu menjadi luar biasa. Sungguh keringatku mengucur, rambutku jadi keriting, otakku makin pening untuk dapat berselancar dalam tulisan tulisan dahsyatmu. Kau memang penulis idolaku.

Pertemuan pertama benar-benar tanpa sengaja. Aku berdiri di depan menjadi sosok yang wibawa ketika itu. Dengan gagahnya aku sampaikan kalimat-kalimat untuk seisi ruangan termasuk dirimu. Aku tak tahu jika kamu ada di ruang besar itu. Kemudian aku berjalan dari meja ke meja, dari kursi ke kursi dan jalanku tiba-tiba terhenti sejenak oleh sapaanmu.

"Apa kabar Daffodil ?"

Aku terhenyak dengan sapaan akrab itu. Seingatku kita tak pernah bertemu sekalipun, dan kita tak pernah berkenalan langsung. Mungkin kau mengenal namaku dari media yang sering sibuk meliput kegiatanku. 

Kegiatan seorang ketua Senat Mahasiswa sebuah Universitas beken di kota ini. Tapi kamu, kamu adalah penulis hebat. Penulis level nasional yang entah karena cinta kampung halaman atau alasan lainnya, kau bersedia hadir kembali di perhelatan lokal ini.

Sapaamu membuat sekujur tubuhku panas dingin, terus terang aku malu dengan diriku sendiri. Apa alasannya aku salah tingkah dengan sapaan itu. Bukankah sapaan itu adalah sebuah basa basi biasa dan lumrah diucapkan oleh siapa saja. Meski kemudian aku mengkaji hal remeh yang sebenarnya tak perlu kukaji. Dari limapuluh orang yang hadir, mengapa hanya dia yang menyapaku akrab dengan menyebut namaku. Ge er kamu Daffodil, jawab jiwaku yang lain.

Tahukah kamu, aku mengenalmu sejak di semester I . Tulisan-tulisanmu senantiasa menjadi menu pertama yang kulahap jika ia hadir di media masa. Kekagumanku padamu adalah kekaguman tanpa syarat. Benar benar murni meluncur polosnya hati seorang gadis bernama Daffodil . Kekaguman itu diam diam bertambah bumbu. 

Bumbu bumbu rajutan kegelisahan hati yang tak jelas ujung pangkalnya. Bodohnya Daffodil, begitu pastinya jika aku beranikan cerita pada teman-temanku. Namun bertahun aku berhasil membungkus kebodohan itu menjadi sepiring semangat untuk mengasah diri dan belajar kapan aku bisa seperrti dirinya.

Aku memang bukan dirinya. Jika ia adalah seorang penulis matang yang hebat, laki-laki mapan dan asa sebuah generasi yang telah teraktualisasi secara nyata. Namun aku, Dafodil gadis kampung biasa yang karena rejeki dan sedikit kemampuannya akhirnya menjadi ketua Senat Mahasiswa sebuah Universitas ternama di suatu kota.

"Daffodil, aku tertarik ingin menulis bersama denganmu"

"Aku perhatikan paparanmu terasa apik, dengan bahasa yang tertata dan mengalir. Jarang seorang anak muda memiliki bahasa tutur sebaik dirimu"

Jantungku berdetak keras, barangkali sirkulasi darahku waktu itu lebih cepat dari sebuah jet supersonik sekalipun. Mulutku ternganga , telingaku berdengung dengan cepatnya. Aku benar-benar tak percaya, laki-laki itu, idolaku itu, mengajakku menulis bersama.

Pertemuan sesudah itu adalah pertemuan di dunia maya. Beberapa konsultasi dan percakapan ringan seputar tulisan meluncur perlahan namun pasti. Aku, Daffodil yang masih hijau ini bersahabat dengan laki-laki matang yang hebat dan terkenal seperti dirimu. 

Seolah tak ada jarak lagi diantara kita, meski timpang menurutku tapi tidak menurutmu. Kau terlalu pandai menyusun kata hingga aku tak mampu lagi mengelaknya.

"Buku kita hampir rampung Daffodil" begitu sapamu di sebuah email.

Wajar hampir rampung, karena semangatku terus menggunung berduet menulis dengan sosok sepertimu. Aku terus belajar meski dirimu tak sekalipun pernah memposisikan diri sebagai guru dihadapanku. 

Kau terlalu rendah hati, terlalu ingin tampil setara meski bagiku kau 'guru' sebenar-benarnya. Entahlah perasaanku bercampur aduk tak menentu, antara kagum, cinta, bingung atau apapun menjadi satu. Rasaku teraduk dalam asa, asa mendalam ingin terus bersama. Barangkali naif, tapi itulah adanya.

"Buku kita nanti diluncurkan dengan acara kecil di Pantai Anyer ya Dafodil" begitu tulismu di email terakhir. Disitu juga kau lukiskan keindahan pantai Anyer yang sulit kau jejerkan dengan kata-kata. Aku percaya karena itu memang  dekat desa tempat lahirmu. Aku sendiri sama sekali belum pernah kesana .

Akhirnya kubaca dan kudengar bencana tsunami di selat Sunda, di pantai Anyer , di tempat dekat desa tempat kelahiranmu. Aku terhenyak, entah kenapa tiga hari tersebut perasaanku selalu tak enak. Kuberanikan mengirim pesan via WA, sesuatu yang tak kau sukai. Kau selalu saja mengatakan lebih suka via email, lebih indah dan mendalam katamu. Alasan yang aneh bagiku waktu itu, meski aku selalu maklum.

Pesanku tak pernah sampai ternyata, pesanku dilarung ombak putus asa. Hari demi hari aku menanti tak tentu rasa, hingga akhirnya kubaca berita yang terpampang di hari ketujuh setelah bencana tsunami itu.

'Sukrawan Tirtana, Penulis terkenal termasuk korban yang tewas dalam bencana tsunami di Pantai Anyer'

Ragaku rasa terpisah dari nyawa, aku limbung, aku linglung. Idolaku, sahabatku, yang telah mulai kutabur percik cintaku ternyata tak bertakdir bersama. Imanku masih ada di dada, mataku basah, jiwaku resah. Inna lilahi wa inna ilaihi raji'uun, smoga husnul khatimah dirimu.

Daffodil menangis, naskah buku kita menangis, tiap tiap bait katanya menjelma jadi air mata, Alfatihah

Sukajaya, 16012019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun