Kerdilnya aku
Sang maha penuh cinta
Tetap Kau guyur aku dengan embun cinta
Hingga si kerdil berdaya
         (Sang Biru,  01102017)
      Matanya menerawang menyusuri detik demi detik kebersamaannya bersama Ardi. Benang waktu berjalan ia untai dengan cinta. Cinta dalam mata, cinta dalam belaian, cinta dalam gelas, cinta dalam piring, cinta dalam sapu bahkan cinta dalam minyak angin. Bagi Suci, cinta tak mengenal arti takaran matematika. Kerna cinta itu tulus, sebagaimana ia menanamkan rasa cinta dan tulus pada putra-putrinya.
"Anakku, berikan apa yang kau miliki. Kerna sesungguhnya itu semua hanya titipan Illahi. Tebarkan cinta pada sesama lewat senyum, lewat karya, lewat keringat bahkan lewat setiap hela nafas kalian. Jiwa kalian akan tulus, bening dan insyaa Allah lapang dada terhadap setiap guratan taqdir-Nya" , itu salah satu kalimat yang di ucapkan di depan putra --putrinya".
Suci makin tak paham jenis cinta[1] yang mana yang Ardi berikan untuknya.  Benarkah cinta sejati yang didapat ? Apakah  komponen cinta sejati  itu ada ?  Ia sendiri tak paham meskipun tetap penuh harap. Ketika cinta dibungkus dengan topeng, segalanya bisa berubah. Cinta yang awalnya bening bisa saja kemudian tersangkut debu dan kotoran dalam perjalanannya . Hal itu membuat beningnya cinta menjadi keruh dan berwarna. Tak mudah menetralkan kembali warna kusam maupun keruh di mata air cinta. Ia akan menjadi mata air kehidupan yang senantiasa  mengalir pilu bercampur bulir air mata. Mata air dan Air mata bagi sebuah cinta terasa seperti dua sisi mata uang, ia terpisah namun tak mungkin dipisahkan. Suci tak mau kehilangan kesucian cintanya, ia masih saja menyimpan sebongkah optimisme di hati. Optimisme itu adalah doa dan harapan. Ia yakin selalu saja ada esok yang cerah maupun mendung.  Baginya cerah-mendung, bening-keruh, putih-hitam, halus-berduri atau apapun sisi cinta dan kehidupannya tetap saja membawa makna bagi kehidupannya.
Â
 Bagi Suci , derita dan bahagia sama indahnya tergantung bagaimana cara kita memaknainya. Bahagia acapkali hadirkan tawa, yang sering dianggap orang sebagai sejatinya senang yang hakiki. Bahagia sering dianggap hadirkan energi positif jiwa maupun raga. Lain halnya dengan derita, derita sering dihakimi sebagai terdakwa penyebab gagalnya kehidupan. Derita  yang hadir satu paket dengan air mata dianggap lahirkan energi negatif jiwa maupun raga. Padahal bukan itu, bahagia dan derita sama sama punya makna membangun hakekat diri yang sebenarnya.  Lalu mengapa jalan ini yang harus kutempuh ? begitu pertanyaan yang acapkali hadir di benak Suci. Taqdirkah ini ? itu yang kadang memenuhi benaknya.  Suci tetap senyum, bahkan senyum yang sama tetap ia tebarkan ketika bertemu sobatnya yang bertanya " Suci,  mengapa kau tak mengejar karir?"  . Seperti biasanya, ia  hanya menjawab dengan senyum sambil bergumam " inilah karirku".  Suci tersenyum ranum, deru ombak dan suara burung camar pun ikut tersenyum.     Â
Â
Lihat Cerpen Selengkapnya