" Lalu bagaimana kakanda wahai adinda"
"Lalu bagaimana ananda wahai ibunda"
Dalam kondisi seperti itu, seisi negri akan malu melihat junjungannya yang wauw dan flamboyan itu tiba-tiba terpuruk  seperti anak kecil kehilangan botol susunya. Ekspresi wajah lugu tanpa dosa itu tiba-tiba meringkuk memelas memohon belas kasih orang-orang terdekatnya.
III
Raja Lalim duduk di singgasananya. Sebuah kursi yang ditempah khusus dari kayu ebony, diberi sentuhan permata mutiara yang dihasilkan di senatero negri. Alas singgasana  berupa kasur empuk yang khusus dirancang dari kapas terbaik yang pernah ada. Jelata  di luar sana mulai kasak-kusuk oleh kinerja sang Raja. Rasa kecewa mulai menghampiri hati sanubari jelata. Ketika ekonomi jelata makin tak tertata, ketika pendidikan jelata mahal membumbung luar biasa, ketika utang negri berlaksa-laksa, ketika kejahatan merebak dimana-mana, ketika moral dan etika makin jarang dan langka, ketika topeng-topeng cantik laris dimana-mana, ketika itulah prestasi jeblok sang raja makin terbuka.
Raja makin sibuk berkaca, memeriksa kembali apakah topengnya masih cukup indah dipandang mata.
"Dinda, kau pakai saja baju dari kain  belacu supaya sama dengan jelata"
"Dinda, kau pakai saja tas dari kulit kayu supaya tampil bersahaja"
"Dinda, singkirkan lispstick dan bedak importmu, ganti saja dengan gincu dan bedak bengkoang ala jelata"
Sang permaisuri bersungut-sungut ngambek  dengan tuntutan suami tercinta. Permaisuri perlu belajar lagi cara berperan dan berakting seperti sang raja, agar selamat di mata jelata meskipun prestasi jeblok namun tak boleh kentara.
"Baginda raja, kita harus mengedit ulang strategi perjuangan kita. Kerajaan Bakmoy, Siomay dan Fuyunghay sudah siap menggelontorkan sejumlah dana untuk mendukung megaproyek paduka raja" ungkap sang patih istana