Apa yang terpikir olehmu ketika melihat kupu-kupu. Perubahan dari telur, kepompong, ulat/lava dan kemudian menjadi kupu-kupu. Benar proses perubahan atau lebih tepatnya sebuah metamorfosis itulah yang selalu menarik dari seekor kupu-kupu. Metamorfosis kupu-kupu inilah membuatku belajar dan yakin suatu saat kehidupan akan lebih baik. 20 tahun sudah usia kulalui dengan segenap capaian prestasi yang cukup banyak namun citra diriku di depan ibu tetap saja kepompong yang tak berarti. Ibu lebih menyintai 2 kakak perempuanku dengan segenap perhatian, tawa, pujian serta harta benda. Bagi ibu aku hanyalah cinderella si upik abu dan bukan siapa-siapa.
Acapkali aku bercermin menatap wajahku. Mengapa ibu selalu mengatakan bahwa aku buruk rupa. Acapkali aku introspeksi bagaimana sifatku sebenarnya, rasanya aku baik . Namun mengapa ibu selalu bilang aku tak tahu diri. Boleh jadi aku hampir terbang menjadi seekor kupu-kupu di luar sana, namun di rumah terkhusus lagi di depan ibu aku tetaplah kepompong yang tak berarti. Mungkin kalian akan ikut memakiku seolah aku anak tak berbakti, namun ijinkan buanglah makian kalian dan prasangka buruk tentangku. Karena di hati kecilku aku sangat cinta pada ibu. Rasa cinta inilah membuatku tetap tegar dan kuat meski di rumah aku hanya sosok kepompong yang tak berarti.
Tahun ini genap 20 tahun usiaku, 1 September 2016. Entah mengapa bulan September sangat istimewa buatku. Selain bulan kelahiran, bulan ini juga bulan keberuntunganku. Aku sering mendapatkan sahabat baik, hadiah kejuaraan bahkan keberuntungan-keberuntungan kecil di bulan ini, sehingga tak salah jika kukatakan bahwa aku cinta September. Di September ini tetap ada yang istimewa karena ada beberapa sahabatku yang selalu mengingat hari lahirku. Sejak pagi hp ku sibuk dengan masuknya beberapa pesan baik sms, WA maupun line. Namun aku memang sedang ingin sendiri. Sendiri aku meninggalkan rumah untuk menuju rumah Miwa[1], kakak almarhum papa. Aku ingin tahu lebih banyak tentang papa, dan aku ingin tahu mengapa ibu membenciku.
“Miwa, aku resah dengan kebencian ibu padaku”
“Kamu sudah dewasa Ayu, mirip sekali dengan almarhum papamu. Kini sudah saatnya Miwa cerita mengapa demikian. Namun apakah kamu siap?”
“Hari ini Ayu genap 20 tahun Miwa, Ayu bukan anak kecil lagi. Ayu ingin kabut misteri ini terkuak, Ayu sudah nggak kuat lagi Miwa”
“Cerita yang menyakitkan Ayu, cerita duka dan lara. Ibumu membencimu karena ada pergolakan psikologis disana”
Miwa diam, air matanya meleleh di pipinya yang lembut. Miwa memang cantik seperti juga almarhum papa yang ganteng. Keluarga papa dianugerahi penampilan fisik yang jauh diatas rata-rata juga keberuntungan dari segi ekonomi. Keluarga papa juga alim dan berpendidikan.
“Miwa, teruskan. Biar semuanya jelas”
Miwa masuk ke kamar, tak lama Miwa kembali dengan membawa sebuah kotak kayu .
“Ayu, miwa tak sanggup cerita nak. Duduklah disana, bukalah kotak kayu ini dan bacalah apa yang ada di dalamnya. Semoga tanda tanyamu akan terjawab nak”
Ayu yang tegar, mahasiswi berprestasi , si kupu-kupu indah di kampus dan si kepompong jelek di rumah. Ayu mencari jati diri, ingin sempurna bermetamorfosis jadi ‘kupu-kupu’ ternyata terseok jiwa terpuruk nyawa hanya dengan membuka kotak kayu tua ini.
Bismillahirrahmanirrahiim, kotak kayu tersebut aku buka, aku benar- benar semakin bertanya apa maksud guntingan klipping koran-koran ini. Bulan September, bulan penuh suka. Namun bulan September kali ini membuatku jatuh tak berdaya. Kubaca satu-satu judul klipping itu, klipping tentang berita perkawinan M (papaku), T (ibuku ). T atau Tursina ibuku adalah seorang penyanyi daerah yang terkenal. Aku melahap satu persatu klipping koran itu tak ubahnya seperti orang haus yang bertemu segelas juice segar. Mataku terhenti pada sebuah berita tentang meninggalnya M atau Mahmud (papaku) di sebuah kecelakaan dan tertulis berkendara bersama seorang bayi yang terselamatkan. Kecelakaan terjadi di akhir tahun 1996. Tak terlalu penting sebuah berita, namun yang sangat penting adalah bahwa bayi itu adalah aku. Tiba-tiba persendianku lemas, tulangku seperti dicabut satu persatu bahkan jiwaku seperti hilang tak berbekas. Aku, seperti kapas terbang tak tentu bentuk. Mengapa aku ditabalkan sebagai malaikat pencabut nyawa ?
Jika biasanya kebencian ibu kubayar dengan sikapku yang makin menjauh, maka kali ini aku benar-benar tak mau seperti itu. Aku cinta ibu dan aku harus buktikan bahwa ia begitu berharga bagiku. Hpku berdering , kakak mengabarkan bahwa ibu kecelakaan & dirawat di Rumah sakit . Aku dan Miwa meluncur kesana. Kulihat ibu terbaring tak berdaya
“Anda , satu-satunya anggota keluarga yang bergolongan darah O. Kedua kakak anda golongan darahnya B barangkali seperti almarhum ayahanda”
“Ambil darah saya suster, untuk ibunda yang saya cintai “
Miwa memelukku erat, kedua kakakku memelukku erat. Ibu aku datang , aku kan peluk bersimpuh di kakimu. Biarkan darahku mengalir di ragamu, biarkan cintaku hidup di hatimu . Tiba-tiba keceriaan september hinggap di hatiku, rasa syukur terdalam hadir di jiwaku. Kemudian bayangan ibu jadi seperti bidadari. September kupu-kupu, terbangkan sayapku tinggi dan indah untuk terus mensyukuri cintaku dan ibu. September kupu-kupu , bermetamorfosislah jiwaku menjadi jiwa yang bersyukur pada setiap kehendakNya
[1] Miwa = Dalam bahasa Aceh artinya Kakak Ibu atau Kakak Ayah, kadang disebut Nyakwa
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Romansa September RTC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H