Menurut cerita para orangtua, arak-arakan tersebut dilakukan untuk menghindari malapetaka yang akan terjadi di kampung ini. Ada mitos yang mengatakan bahwa pada zaman dahulu, Â kampung dimana saya tinggal sekarang ini pernah terserang penyakit cacar. Kemudian, Â setelah Minah di arak keliling kampung maka penyakit tersebut hilang dengan sendirinya. Dan konon katanya, Â Minah akan menangis jika tidak di arak keliling kampung pada saat lebaran tiba.
Ketika rombongan ondel-ondel itu datang, Â para warga akan rela memberi sejumlah uang pada rombongan arak-arakan tersebut. Mereka juga akan mengambil hiasan daun beringin yang ada di kepala ondel-ondel Minah. Hiasan tersebut ditaruh di atas pintu rumah dan di percaya akan mengusir segala malapetaka yang akan datang.
Saat ini arak-arakan ondel-ondel memang masih dilakukan. Tetapi tidak di sambut antusias para warga.  Mereka menganggap arak-arakan tersebut sama saja seperti ondel-ondel yang  mengamen di hari-hari biasa. Ondel-ondel Minah itu sendiri,  entah berada dimana saat ini. Hilang bersamaan dengan meninggalnya si empu pemilik ondel-ondel tersebut.
Tradisi unik tersebut memang masih ada yang melakukannya hingga saat ini, tetapi hanya beberapa saja dan bahkan ada yang hilang sama sekali. Kue-kue asli betawi sudah mulai berganti dengan makanan modern seperti biskuit dan sebagainya. Semur daging kerbau berganti dengan olahan lain, tidak terdengar lagi suara petasan di hari lebaran serta arak-arakan ondel-ondel Minah yang  di sambut antusias para warga.
Kemeriahan lebaran saat ini pun tidak terasa seperti dua puluh limaan tahun lalu. Tidak terlalu terlihat gotong royong antar sesama warga seperti dulu. Jumlah warga asli Jakarta atau biasa di sebut suku Betawi yang sudah tidak banyak ditemukan lagi adalah salah satu pemicu hilangnya tradisi tersebut.
Pola dan gaya hidup praktis juga menjadi salah satu alasan tradisi tersebut mulai ditinggalkan. Masyarakat cenderung memilih hal-hal praktis ketimbang menyibukan diri dengan urusan olahan makanan yang membutuhkan proses panjang dalam pengerjaannya.
Faktor biaya yang terlalu besar pun mendorong masyarakat mulai meninggalkan tradisi lebaran yang serba wah tersebut menjadi lebih sederhana. Dahulu bahan untuk membuat panganan lebaran terbantu dengan hasil pertanian milik sendiri serta kerjasama warga untuk saling membantu. Sekarang, Â lahan pertanian sudah berganti dengan perumahan-perumahan.
Mungkin, Â lima atau sepuluh tahun ke depan bisa saja tradisi tersebut akan hilang sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H