Melihat sawah yang permai sembari mengunyah pisang adalah kenikmatan yang murni di sebuah sore hari. Kala itu saya duduk sembari mengeringkan keringat usai berjalan belasan kilometer mengitari jalanan kampung di bawah langit yang benderang. Suasana saat itu terlalu baik, hampir sempurna.
Ada sawah yang hampir menguning seluruhnya, langit senja oranye, layang-layang dan anak-anak yang tengah beradu benang, hingga sungai kecil yang memantulkan sinar matahari. Jika saat itu ada Saoirse Ronan di samping saya, hari itu pasti menjadi utuh dan benar-benar sempurna. Meski saya masih meyakini bahwa kesempurnaan hakiki hanya milik Tuhan semata.
Sayang, pada akhirnya keindahan itu dirusak oleh pemandangan mengerikan. Seorang pemuda yang mungkin seusia saya membawa sarang berisi anakan burung pipit alias emprit dalam genggaman. Jantung saya berdegup kencang; saya tak tega. Ingin rasanya saya langsung melarang, tapi saya tak berani. Saat saya tanya untuk apa, dia bilang untuk dicacah sebagai umpan memancing. Saya makin lemas dan sore itu menjadi sore yang jauh dari kata sempurna. Seolah pisang itu jadi getir dan langit menjadi kelabu. Seandainya ada Saoirse Ronan pun, sore itu sudah tak tertolong lagi. Benar kiranya, tak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini.
Kami akhirnya mengobrol, dan saya akhirnya mendapat banyak pencerahan. Pemuda itu bercerita bahwa burung emprit di daerah situ adalah hama, begitu juga tikus. Memang tiap kali lewat daerah situ, tak jarang saya menemukan bangkai emprit yang tergeletak di jalan. Mungkin karena tertabrak kendaraan, saking banyaknya jumlah mereka. Karena itulah mereka punya burung hantu hasil bantuan pemerintah yang digunakan sebagai pembantai hama padi. Tapi, rasanya saya tetap tak tega; anakan burung emprit itu matanya saja belum terbuka, apalagi bisa terbang. Kejam.
Saya pernah membeli burung emprit saat kecil, hanya untuk saya lepaskan karena rasa tak tegaan saya. Saya membayangkan burung itu akan pulang dan bertemu keluarganya, layaknya di film-film kartun. Saya saat itu belum paham bahwa mereka adalah hama, layaknya tikus. Melihat anakan emprit itu menyebabkan saya terserang salah satu lagu dari grup Cherrybelle, Dilema.
Berbeda dengan tikus, ia memang pantas disebut hama. Menurut saya, tikus punya beragam ciri yang cocok untuk diidentikkan dengan hama padi, dan dia memang terasa layak untuk diburu. Diskriminasi hama ini memang bisa dipahami. Tikus adalah hama, titik. Namun, hati saya belum bisa menerima masuknya spesies emprit dalam geng hama padi. Emprit itu pokoknya lucu, apalagi saya jarang bisa lihat burung ini di sekitaran rumah. Lebih sering lihat tikus got yang kerap masuk rumah.
Tikus memang hama-able. Dia punya tubuh dan tampilan yang "hama banget" menjijikkan dan menjengkelkan. Mau memegang saja sungkan, baru melihat saja geli. Tapi, emprit tak seperti itu. Ia lucu, kecil, imut dan bisa terbang. Belum lagi kalau mereka ada banyak, indah dipandang mata.
Sayangnya mata itu punya saya, bukan mata petani. Bagi petani, semakin banyak emprit, pertanda semakin bahayanya keberlangsungan padi mereka. Karena padi tak bisa melawan emprit dan tikus sendiri, para petani bikin penghalau burung dari tali, dan memelihara burung hantu. Rupanya, ular yang kerap diburu saat malam mengakibatkan meledaknya jumlah burung emprit dan tikus. Ya, bukan rahasia bahwa ular memang laku dijual.
Kalau kata budayawan Prie GS, "Ledakan penduduk tanpa mutu penduduk adalah azab." Dan, emprit serta tikus itu tak memberikan mutu yang baik bagi hidup petani. Alhasil saya harus merelakan anakan emprit itu dibawa pergi oleh pemuda tadi. Mau tak mau. Perburuan ular sawah untuk dijual tadi yang menyebabkan hama makin banyak, termasuk menyeret si emprit yang lucu. Berat, tapi harus saya terima keadaan itu. Karena itu juga hasil dari kesalahan manusianya sendiri.
Seindah apapun emprit, ia adalah hama, tak ubahnya tikus. Ia tak boleh dianggap istimewa hanya karena tampilannya yang menipu. Dilema banget; kalau tak dibunuh mengganggu petani, kalau dibunuh saya yang tak tega. Saya pikir sudah seharusnya saya bisa menerima pembasmian burung emprit yang sudah terlalu banyak jumlahnya itu. Sama-sama hama, sama-sama merugikan.
Hidup memang kerap menipu dan penuh dilema . Ular yang dibasmi atas nama ekonomi menyebabkan ekosistem bubrah dan kacau. Burung yang lucu justru jadi hama, berkolaborasi bersama tikus menciptakan gagal panen. Memang, burung emprit, apalagi tikus, perlu ular untuk memangsa mereka demi ekosistem yang sehat. Tikus yang tak terkontrol dan tak punya pemangsa alami bakalan makin menjadi. Jangankan dibunuh karena merupakan hama, sudah ditangkap saja masih bisa dikasih keringanan karena di-bully netizen, bahkan bisa lolos dari jerat hukuman dan bebas ke sana kemari.
Itu baru tikus. Bagaimana jika itu burung emprit yang terlihat tak berdosa, indah, dan lucu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H