Jakarta, Â 27 Desember 2019 Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki melalui Komunitas Seniman Muslim mempersembahkan Pementasan teater Perampok karya Ws. Rendra yang di adaptasi dari The Robber Karya Jf Schiller. Â Lakon ini menceritakan tentang intrik-intrik keluarga bangsawan dari Lumajang, di masa Sultan Agung dari Mataram. Kisah yang berbau iri hati, dengki, kasmaran, dan perbuatan tak terpuji lainnya seperti merampok mengukuhkan ambisi dan harga diri.
Seorang pria berpakaian adat Jawa lengkap menghadap sang ibundanya. "Ibundaku Nyai Adipati Lumajang dalam keadaan sejahtera? Apakah sudah benar-benar sembuh dari penyakit?" tanya putra keduanya Sudrajat.
Lantas sang ibunda yang sedang sedih ditinggalkan putra pertamanya Raden Legowo bertanya kembali, "Sudrajat anakku apakah maksud pertanyaanmu? Apakah ada sesuatu yang gawat dan harus dipertanyakan tentang keadaan kakakmu?"
Sudrajat tak menjawab. Ia diam dan kebingungan. Berusaha mencari akal, alasan apalagi yang harus diutarakan. Ia menginginkan kakaknya pergi dan takhta jatuh ke tangannya.
Sepenggal adegan di atas dipentaskan dengan durasi tiga jam ini pernah dimainkan oleh Bengkel Teater Rendra di tahun 1976.
Dalam karya ini, Schiller menerapkan pandangan tentang karya seni (sastra) yang berbeda dengan masa klasik (Aristotelian). Â Dalam masa klasik, karya seni memiliki kesatuan tempat dan waktu, dengan mengandung unsur plot episodik. Namun pemanggungan naskah ini sudah tidak lagi mementingkan plot, waktu dan alur cerita sebagaimana gagasan Bertold Brecht ketika mengingatkan penonton akan fungsi utama media panggung.
Adaptasi Cerdas Rendra. Naskah ini kemudian dengan cerdas diadaptasi W.S. Rendra ke dalam era menjelang keruntuhan kerajaan Mataram, untuk menangkap konflik sosial manusia Indonesia yang universal baik di masa dahulu maupun di masa depan berkaitan dengan kekuasaan, harta, wanita bahkan politik.
Lewat naskah ini, Rendra merefleksikan pribadinya dalam melihat dan merespon situasi mutakhir Indonesia dengan cermin setting Nusantara pada masa lalu, menjelang runtuhnya kerajaan Mataram di Jawa. Konflik internal dalam kerajaan Mataram, intrik kekuasaan yang memanfaatkan sekaligus memperbutkan harta, takhta dan melibatkan wanita, merupakan realitas kekuasaan dari terbit hingga tenggelam
Hal inilah yang membuat Nusantara pada masa-masa itu terlihat kokoh dan mashyur namun sesunguhnya rapuh karena dirongrong dari tubuh kekuasaan itu sendiri.Indonesia di masa kini sedang dalam pergumulan ideologis dan politis yang bisa membawa kehancuran bagi keberadaan bangsa.Teater mampu menjadi media refleksi dan kritik terhadap perdaban dan realitas bangsa saat ini selaras dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak kemerdekaan rakyat dibuat bingung, antara yang memfitnah dan pemfitnah, antara yang benar dan salah, semuanya kabur alias abu-abu.
Naskah ini juga menjadi gambaran kehidupan, bermasyarakat dan bernegara. Pesan moral yang terkandung didalamnya sangat dalam, mengingatkan kita agar berlaku adil, jujur dan pantang menyerah. Sejatinya banyak nilai kehidupan, nilai demokrasi, nilai religius, dan nilai etika yang dapat diambil dari naskah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H