Dalam perkembangan studi Islam era modern, metodologi memegang peranan penting dalam memastikan akurasi, relevansi, dan kesinambungan tradisi keilmuan Islam. Salah satu pendekatan klasik yang hingga saat ini masih sangat berpengaruh adalah fiqih, yaitu sebuah bidang ilmu yang berfokus pada hukum-hukum Islam. Namun, pendekatan fiqih dalam studi Islam sering kali dihadapkan pada tantangan relevansi dalam menghadapi perubahan sosial, politik, dan budaya yang terus berkembang.
Fiqih: Pilar Hukum Islam
Secara harfiah Fiqih berarti "pemahaman mendalam", dan dalam konteks studi Islam mengacu pada ilmu yang mengatur cara umat Islam melaksanakan syariat atau hukum-hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Para ulama menggunakan fiqih untuk mengkaji dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadis untuk menetapkan hukum atas berbagai persoalan yang dihadapi umat.
Pendekatan fiqih telah membentuk pemikiran umat Islam selama berabad-abad. Namun seiring perkembangannya, fiqih menjadi sangat terfokus pada mazhab, dan pemahamannya pun terbagi ke dalam beberapa mazhab antara lain mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Setiap mazhab memiliki metode ijtihad yang berbeda dalam menafsirkan teks-teks agama. Meskipun pendekatan ini kaya, terkadang juga menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan kondisi sosial kontemporer yang terus berubah.
Tantangan Kontekstualisasi
Salah satu kritik utama terhadap pendekatan fiqih dalam studi Islam adalah kesulitannya dalam beradaptasi dengan realitas sosial yang terus berubah. Hukum-hukum fiqih seringkali dirumuskan dalam konteks zaman klasik, yang sangat berbeda dengan dunia modern yang kompleks. Misalnya, isu-isu kontemporer seperti hak asasi manusia, hak-hak perempuan, pluralisme, dan demokrasi sering kali melanggar batasan-batasan yang ditetapkan oleh hukum fiqih klasik.
Menanggapi tantangan ini, beberapa ulama modern mengusulkan pendekatan kontekstualisasi. Mereka berpendapat bahwa prinsip-prinsip fiqih perlu dipertimbangkan kembali dalam kerangka sosial-politik saat ini. Pendekatan ini tidak bertujuan untuk meninggalkan tradisi fiqih, namun untuk menafsirkan kembali dalam konteks baru, seperti yang dilakukan para ulama klasik pada masanya.
Relevansi di Era Modern
Fiqih tetap relevan hingga saat ini, tetapi penerapannya dalam studi Islam perlu disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan umat yang semakin berkembang. Pendekatan fiqih memberikan landasan normatif dalam praktik keagamaan dan muamalah (interaksi sosial), namun pendekatan ini perlu diinterpretasikan ulang agar dapat mengimbangi perkembangan zaman. Dalam hal ini, pembaruan metodologi menjadi hal yang tidak dapat dihindari.
Beberapa ulama modern seperti Yusuf al-Qaradawi dan Abdullah bin Bayyah menekankan pentingnya maqasid al-shariah (tujuan-tujuan syariah) dalam pendekatan fiqih. Mereka menekankan bahwa fiqih harus lebih berfokus pada sifat dan tujuan dari hukum Islam, seperti perlindungan agama, kehidupan, hati nurani, keturunan, dan harta benda, daripada sekedar mengikuti teks-teks secara literal.
Pendekatan ini lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan berbagai konteks modern, sehingga mampu menjawab permasalahan kontemporer tanpa harus melepaskan prinsip-prinsip dasar syariat Islam. Misalnya, dalam isu-isu ekonomi seperti perbankan syariah, hukum-hukum fiqih dapat dimodifikasi dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan sosial, meskipun tuntunan ekonomi berbeda dengan zaman Nabi.