Dewasa ini, tidak bisa dipungkiri teknologi terus berevolusi dan mempengaruhi gaya hidup manusia. Hal ini ditandai dengan hadirnya internet yang membawa pengaruh pada peran media sosial. Sebagaimana media sosial memberikan kemudahan dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi secara cepat. Namun, penggunaan media sosial seringkali menjadi suatu hal yang negatif jika tidak bijak dalam menggunakannya.
"netizen" yang merupakan sebutan bagi pengguna media sosial selalu dapat memberikan berbagai tanggapan dan komentar. Sebagaimana media sosial dijadikan ajang menampilkan dan mengekspresikan diri. Sehingga tidak jarang berbagai cuitan dapat dilontarkan sebagai bentuk ketidaksukaan atau kecaman bagi orang lain yang berlebihan dalam bermedia sosial. Hal ini dikenal sebagai fenomena "Cancel Culture". Lantas apa itu Cancel Culture?
Pada awalnya, cancel culture merupakan sebuah tindakan pemboikotan dengan tujuan untuk memberikan sanksi sosial pada seseorang yang melakukan kesalahan atau menunjukan sikap tidak senonoh di media sosial. Menurut Devie Rahmawati, peneliti komunikasi sosial dan budaya dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa "Operasi dari cancel culture ini ialah dengan cara memotret, mempertontonkan, melabel dan mempermalukan orang di hadapan publik, melalui medium teknologi media sosial."
Tindakan cancel culture dapat berupa rasisme, bullying, maupun berbagai kejahatan di media sosial yang dilakukan baik pada masa lalu maupun pada masa sekarang, yang mana hal tersebut dapat membawa pengaruh buruk bagi warganet lainnya. Lantas, ketika tindakan tersebut tersebar luas di berbagai platform media massa dan memunculkan banyak respon negatif seperti komentar buruk, maka kemungkinan besar hal tersebut dapat menyebabkan seseorang kehilangan nama baiknya dan dapat menimbulkan keterpurukan, baik dalam pekerjaan maupun lingkungan sosialnya.
Seiring berkembangnya waktu, fenomena cancel culture tidak hanya sebatas ajang untuk memberikan sanksi pada 'aib' seseorang di masa lalu, tetapi juga digunakan oleh beberapa orang yang haus akan popularitas dengan cara memanfaatkan fenomena ini sebagai kesempatan untuk memperlihatkan diri dan dikenal oleh publik. Hal tersebut tentu sangat disayangkan, sebab ada saja beberapa individu yang ingin terkenal tanpa karya yang dipamerkan, alih alih karena prestasi, melainkan mencari sensasi untuk dikenal dengan cara dihujani caci maki. Mereka yang seperti ini rela dihujani sanksi dan hujatan dengan sengaja memperlihatkan kesalahannya agar namanya menjadi 'trending' dan masuk kepada banyak pemberitaan. Orang-orang yang demikian, merasa dirinya hebat dan patut dibanggakan karena bisa dikenali banyak orang dengan cara yang instan.
Maraknya fenomena cancel culture di Indonesia seringkali dijadikan peluang bagi beberapa orang untuk menunjukkan keberadaan dirinya. Sehingga dapat dikenal masyarakat dan menambah keuntungan, baik secara materil maupun non materil. Misalnya saja baru-baru ini publik dihebohkan dengan seorang public figure berinisial AT yang muncul dengan berbagai kontroversi. Dikutip dari suara.com, salah satu kontroversi yang paling menarik perhatian adalah saat AT menyebut dirinya siap menikahi seorang penyanyi berinisial NS yang juga tengah mendapatkan banjir hujatan akibat isu perselingkuhannya yang tersebar di media sosial, dan ia juga mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden poligami muda Indonesia.
Dengan adanya konflik perselingkuhan NS yang menyebabkan banyaknya komentar negatif bahkan NS kehilangan citra baiknya di mata publik, AT justru memanfaatkan momen tersebut agar dapat menaikkan popularitasnya dan dapat meningkatkan perekonomiannya dengan cara menarik perhatian warganet untuk ikut menghujat dirinya. Sehingga AT dapat masuk ke dalam berita dan diundang oleh beberapa stasuin televisi. Terlepas dari hal yang dilakukan AT tersebut, keberadaan cancel culture sebagai ajang meningkatkan popularitas melalui hujatan bisa dibilang tidaklah tepat, menggunakan hujatan demi popularitas, meraup sensasi tanpa sensasi adalah hal yang tidak sepatutnya ditrendingkan oleh publik.
Secuil cerita yang terjadi pada AT membuat fenomena cancel culture semakin nyata di hadapan kita. Bahwa sejatinya sikap penolakan atau boikot yang dilakukan oleh netizen kepada orang-orang yang berlebihan dan mencari sensasi di media sosial, justru menjadi peluang yang menguntungkan untuk mendapatkan popularitas.Â
Dalam hal ini telah terjadi pergeseran peran media sosial yang semula untuk mengekspresikan diri dan bertukar informasi, justru dijadikan ajang meningkatkan ketenaran dengan berbagai cara. Sehingga cancel culture menjadi suatu fenomena yang dapat menurunkan moralitas pengguna media sosial.
Sumber :
Putri, W. S. R., Nurwati, N., & Budiarti, M. (2016). Pengaruh media sosial terhadap perilaku remaja. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 3(1). Â 47-51. doi: https://doi.org/10.24198/jppm.v3i1.13625
Nabilla, Farah (2021). 5 Kontroversi Aldi Taher, Sengaja Ingin Viral Karena Faktor Ekonomi? dikutip pada Rabu, 19 Mei 2021
Inipasti.com. (2021). Cancel Culture Marak di AS, Bagaimana di Indonesia? dikutip pada 18 Mei 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H