Saat ini saya tinggal di pemukiman dekat Jalan Legi, area yang dipenuhi dengan kehidupan sosial yang kental dengan kekeluargaan. Meskipun terdapat banyak kos-kosan, lingkungan ini masih mempertahankan nuansa kekeluargaan dan interaksi warga setempat. Lingkungan disini mirip dengan kampung atau desa di mana warga saling mengenal satu sama lain. Suasana akrab dan ramah sangat terasa ketika melihat orang-orang bertegur sapa atau sekadar berkumpul di gang-gang kecil yang digunakan untuk anak-anak bermain.Â
Tidak ada strata atau kelas sosial yang terlalu menonjol disini, namun identitas sosial kuat, dicirikan oleh kehidupan yang guyub dan kebiasaan masyarakat yang masih terikat oleh budaya Jawa. Kehidupan di sini banyak dihiasi interaksi warga seperti kegiatan arisan, obrolan sore hari antara para orang tua sambil momong cucu, dan aktivitas pedagang keliling. Tanpa seragam formal, pakaian sehari-hari yang dikenakan warga, seperti daster bagi ibu-ibu atau kaos dan celana panjang bagi bapak-bapak, menambah kesan sederhana dan hangat dari lingkungan ini.
Pagi itu sembari menunggu teman saya, saya mengamati seorang bapak pedagang sayur yang mangkal di depan gang. Â Beliau mengenakan pakaian sederhana berupa kaos dan celana panjang dilengkapi dengan tas selempang khas pedagang. Bapak pedagang selalu tersenyum ketika menyambut pelanggannya. Tanpa banyak basa-basi atau tawar-menawar, ia menata sayurnya di atas terpal yang digelar di samping jalan. Cara beliau berbicara sangat ramah, menggunakan bahasa Jawa halus, mencerminkan kesantunan serta penghargaan kepada pelanggannya.
Observasi kedua saya adalah seorang ibu yang baru selesai berbelanja sayur dari bapak pedagang tersebut. Beliau mengenakan daster rumah dan jilbab, menunjukkan kesederhanaan dan kesopanan dalam berpakaian. Dengan ramah, beliau menyapa tetangga dan orang-orang yang ditemui di sekitar dengan bahasa Jawa, menambah keakraban dalam interaksinya. Setiap sapaan yang beliau lontarkan seperti mencerminkan kebiasaannya untuk menjaga hubungan baik dengan sekitar, sebuah kebiasaan yang dipegang erat oleh banyak ibu-ibu di lingkungan tersebut.
Interaksi antara bapak pedagang sayur dan ibu yang berbelanja mencerminkan nilai-nilai yang melekat dalam kehidupan sosial masyarakat kampung yang masih kuat di pemukiman ini. Meskipun berbeda peran---bapak sebagai pedagang dan ibu sebagai pembeli---keduanya tampak terhubung oleh nilai-nilai yang menghargai kebersamaan, keakraban, dan penghormatan antar warga. Dasar interaksi mereka terlihat berlandaskan rasa saling percaya dan saling menghargai, bapak pedagang tidak perlu menggunakan promosi berlebihan atau tawar-menawar, sementara ibu pembeli menerima harga yang sudah ditetapkan dengan lapang dada. Mereka menggunakan bahasa Jawa yang kental, menandakan bahwa selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga merupakan alat untuk mempererat hubungan sosial dalam budaya lokal.
Dari cara berpakaian dan berinteraksi, kedua orang ini menunjukkan identitas sosial yang selaras dengan karakter lingkungan di tempat tersebut. Sederhananya pakaian bapak pedagang serta daster dan jilbab ibu pembeli menekankan identitas mereka sebagai bagian dari kalangan menengah ke bawah yang tidak terlalu mementingkan penampilan formal namun lebih pada kenyamanan dan kesesuaian fungsional. Atribut pakaian mereka mencerminkan keakraban dan kepedulian mereka terhadap lingkungan sekitar, sementara penggunaan bahasa Jawa memperkuat kesan kedekatan, penghormatan, dan nilai kebudayaan setempat yang hidup di tengah-tengah perubahan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H