Mohon tunggu...
Nurina PS
Nurina PS Mohon Tunggu... -

26yo. Mrs.Dwiyantoro. Mom of Two. Hampir dua dasawarsa menetap di Berau. Dan satu windu nomaden Bandung-Bogor-Depok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seberapa Istimewanya Kita di Mata Anak-anak?

30 September 2015   14:27 Diperbarui: 30 September 2015   15:20 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada seorang ibu tua yang kerap bertemu dengan saya saban pagi dan sore ketika momen bermain bersama anak anak tiba.Saya sering menyapanya dengan sebutan si Mbah. Ya,karena lebih dari separuh waktunya kini dihabiskan untuk menjaga sang cucu kesayangan ketika anak dan menantunya bekerja. Suatu hari si Mbah bertanya kepada saya kenapa si Kakak tidak  bersekolah hari itu. Saya jelaskan bahwa si Kakak masih mood-moodanmasuk sekolah kalau Uminya tidak ikut mengantarnya ke sekolah.  Karena hari itu si Adik sakit,otomatis tidak bisa mengantar Kakak ke sekolah. Dan alhasil si Kakak mogok sekolah hari itu.

Respon tak terduga keluar dari lisan si Mbah, ” anak anak lengket banget ya sama uminya.sampai sampai ga mau sendirian sekolahnya. Lah iki si Bia malah ga pernah nyari Bundanya kalau bundanya ke kantor atau berangkat dinas ke daerah. Malah kalau Bia ta ajak ke kampung, pasti nyari pakde bukde nya. Bukan nyari Bundanya. Bundanya ga pernah di tanyain sama Bia.”

Degg…jantung saya tiba tiba berdetak lebih cepat . Hati berasa seperti luka yang terkena bulir jeruk nipis,perih. Ingatan saya langsung berkelebat di momen beberapa jam dan beberapa hari yang lalu, dimana saya sempat mengeluh ke Suami karena anak anak yang tak mau lepas dari saya. Sempat terbersit dalam benak saya yang terkadang menempatkan makhluk makhluk kecil nan lugu itu sebagai sosok “pengganggu” di antara aktivitas kerumahtanggaan dan sosial kemasyarakatan yang saya jalani. Pikiran inilah yang harus saya istighfar-i berkali kali.

Sudah jadi rahasia umum, diantara first world problem bagi kaum perempuan di masa transisi yang baru lulus kuliah kemudian memasuki dunia rumah tangga adalah apakah akan memutuskan untuk menjadi seorang ibu yang full mengurus rumah tangga atau melanjutkan karir.  Benarlah,pilihan saya dimasa lalu  untuk menasbihkan diri menjadi Full timer mothernyatanya tidak sesederhana yang dibayangkan oleh saya dulu. Bukan sekedar urusan untuk pandai memanage waktu, tetapi juga untuk urusan menjernihkan emosi sehandal mungkin. Bayangkan, dalam tujuh hari seminggu, nonstop selama dua puluh empat jam sehari, diri ini berkutat dengan anak anak. Seringkali ketika saya merasa kelelahan,dan seketika itu pula merasa semakin pendek sumbu emosinya, namun anak anak tetaplah mencari saya, ibunya. Sekalipun anak pada saat itu tak mendapati kelembutan dari saya,mereka tetap menghambur dalam pelukan saya,Ibu mereka. Setelah itulah, saya sadar ada yang salah dengan hubungan saya dengan Allah. Entah pada ibadah yang berkurang kuantitas dan kualitasnya, entah pada stok sabar dan syukurnya, entah pada kurangnya ilmu dan kurangnya pengamalan.

Kadang saya harus menekan sedikit rasa iba ketika mendengar anak anak menangis dan merengek  karena  pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kadang juga saya harus menahan rasa lapar atau tidak nyaman demi menemani si kecil yang memang tidak bisa ditinggal sekedar memasak atau beberes rumah. Kadang juga saya harus menekan rasa ingin ikut ini dan itu, sederet agenda aktualisasi diri jika itu justru mengorbankan kenyamanan dan waktu bagi anak anak.
Banyak.. Dan lebih banyak lagi yang harusdikorbankan.Belum lagi respek  sosial minim, less bargaining position, less me time and no reward. And I found it when i became a mother.

Dan peryataan si Mbah tadi begitumenghujam.dalam. Sehingga pertanyaan pun seketika muncul dalam benak. Sebegitu istimewakah saya dimata anak-anak? Sehingga mereka tak merelakan ibunya barang semenitpun untuk berpisah.

Di situlah saya merasa bersalah. Merasa telah berkorban banyak .Padahal pengorbanan itu tidaklah  sebanding dengan kebahagiaan yang saya dapatkan bersama anak anak. Detik demi detik yang dilalui bersama mereka jauh lebih bernilai dibandingkan berlian yang di koleksi para sosialita.

Bahagia karena saya mendapat tempat khusus di hati anak anak saya.  Bahagia karena saya begitu istimewa bagi mereka. Bahagianya seorang ibu itu  terdefinisi  dalam spektrum yang berbeda dengan ukuran yang tak mampu terdeskripsikan oleh apapun. Ada jalinan perasaan diantara seorang ibu dan anak anaknya yang merupakan settingan Allah Tabarakta wa Taa’laa. Rasa yang tak mampu  tergantikan.Bahkan dirindukan oleh perempuan manapun.

Teruntuk kalian Anak anakku,…
kelak ketika Kakak dan Dede sudah bisa mengeja huruf demi huruf yang umi tulis ini..
Umi memohon maaf atas segala khilaf sepanjang waktu kita bersama. Karena diri kalianlah, umi merasa sangat berharga. Sangat teristimewa. Terima kasih telah mencintai umi tanpa syarat apapun :'(.

Nurina Purnama Sari, Agathis 30 September 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun