Berawal dari kisah seorang ibu, isteri dari ustadz Mutammimul Ula, sekaligus bunda dari anak-anak penghafal qur’an. Sepuluh orang anak beliau, semuanya, –Subhanallah—menjadi hafidz dan hafidzah. Beliau yang biasa di sapa Ibu Wirianingsih ini, kala itu, melontarkan sebuah statemen redaksional yang menarik tentang bagaimana struktur pendidikan rumah tangga yang dibangun, yang ternyata merupakan hasil seting pendidikan sang suami, “ Yang membentuk mereka, termasuk saya, adalah Bapak mereka. Saya hanya pelaksananya saja. Ibarat membuat sebuah bangunan, suami sayalah yang merancang dan membuat kerangkanya, lalu saya yang mengisinya.
Setelah membaca petikan wawancara tersebut, muncul pertanyaan dalam benak saya tentang bagaimana seharusnya sentuhan pendidikan sang ayah terhadap anak-anaknya? Adakah contoh praktis praktis yang ditinggalkan oleh para ulama dan orang-orang shalih terdahulu tentang bagaimana kehidupan rumah tangga mereka? Dan bagaimana sentuhan pendidikan yang dialami anak-anak mereka?
Apalagi ditengah ragam asumsi yang memikulkan tanggung jawab pendidikan hanya pada pundak sang ibu. Memang tak ada yang menafikkan peran-peran besar yang ada di tangan seorang ibu bagi masa depan anak-anaknya. Seorang ibu, bagaimanpun mempunyai pengaruh penting dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Lalu bagaimanakah peran ayah? Ketika sebagian masyarakat cenderung berpandangan bahwa pengasuhan dan pendidikan anak adalah tugas ibu. Sedangkan ayah, cukup bekerja dan mencukupi kebutuhan materi keluarganya.
Dari sini, saya berusaha mencari literature yang bisa menjelaskan contoh praktis atau pelbagai praktik harian kepada anak-anak oleh sang ayah. Karena ternyata, sejarah hidup para ulama besar dan salafusshalih, umumnya dilatarbelakangi sentuhan pendidikan yang diberikan oleh ayahnya. Dalam sebuah tesis S2 di Universitas Ummul Quro Mekkah, Hiwar al Aba’ ma’al Abna fil Quranil Karim wa Tathbiqotuhut Tarbawiyah (Dialog antara Orangtua dan anak dalam al Qur’an al Karim dan Aplikasi Pendidikannya) karya Sarah binti Halil al Muthairi membahas 17 tema dialog antara orangtua dan anak yang tercantum dalam 9 surat. Dialog antara ayah dengan anaknya ada 14 kali. Dialog antara ibu dan anaknya 2 kali. Dan dialog antara orangtua tanpa nama dengan anaknya 1 kali. Salah satunya,pesan Luqman kepada anaknya, merupakan suatu potret di dalam kitab-Nya yang agung tentang dialog antara ayah dengan anaknya yang didokumentasikan oleh Al Quran Al-Karim. Pun, di dalam Al Quran juga,bagaimana Allah SWT memaparkan dialog bijak antara nabi Ibrahim ‘Alaihi Saalam sebagai seorang ayah dengan anaknya, Ismail ‘Alaihi Saalam yang tersurat secara gamblang dalam fragmen nabiyullah surat Ash Shaafaat ayat ke 102.
Hal ini menunjukkan bahwa al Qur’an memotret para ayah yang lebih bertanggung jawab mendidik anak-anaknya. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab dalam peristiwa mashyur yang terdokumentasikan zaman,pernah menegaskan tugas tugas seorang Ayah. “Seorang Ayah wajib memilihkan ibu yang baik untuk anak-anaknya, memberi nama yang baik untuk anak anaknya dan mengajarinya Al Quran anak anaknya.” Betapa beratnya menjadi calon Ayah, bahkan sebelum membangun bahtera bernama rumah tangga, visi pertama yang harus di siapkan calon Ayah adalah memilihkan calon ibu yang baik untuk anak anaknya.
Namun bagaimana kondisi hari ini? Sosok Ayah Visioner itu mungkin bisa dihitung dengan jari.
Menjadi visioner di setiap lini kehidupan itu penting. Visi secara sederhana dipahami sebagai pandangan yang jelas tentang apa yang akan dilakukan, untuk apa melakukan, apa tujuan melakukan suatu perbuatan.
Seorang Ayah Visioner melihat kehidupan sebagai sebuah misi. Jadi,seorang Ayah visioner itu tahu ke depannya akan seperti apa dan bagaimana bahtera rumah tangga yang dia nakhodai.q Ayah Visioner itu tahu akan ke arah mana,bagaimana caranya,dan seperti apa dia membentuk istri dan anak anaknya. Ayah visioner lah kelak menetapkan milestone demi milestone dalam keluarganya. Dalam bukunya yang berjudul Dreams From My Father, Barrack Obama,menguraikan banyak cerita tentang mimpi-mimpi ayahnya untuk sang anak. Satu penggalan kesimpulan yang saya petik dari buku tersebut, sang ayah berhasil merancang,menetapkan visi,dan memprogram sang Obama junior, untuk menjadi penakluk Amerika.
Akan seperti apa jadinya kelak, sangat ditentukan oleh persepsi dan desain yang jelas dari orang tua sang anak. Ayahnya berperan sebagai arsitektur, ibunya berperan untuk mengisi konstruksi bangunannya.Mereka saling bersinergis mengisi tiap elemen esensial kehidupan bernama rumahtangga. Semakin blur desain yang dimiliki, peluang ketidakjelasan akan menjadi seperti apa anaknya kelak akan semakin besar. Semakin kompak kedua orang tuanya menjalani peran masing-masing, akan lebih mudah bangunan karakter dan cita-cita anak terbentuk. Desain dan pembangunan karakter sang anak itu bisa sangat dipengaruhi oleh pemahaman, wawasan, pengalaman hidup orang tuanya, lingkungan, dan tentu, di atas itu semua, kehendak Allah.Persepsi dan desain yang jelas di awal yang dimiliki kedua orangtuanya juga memberikan harapan dan energi yang besar bagi orangtuanya dalam menjalani hari-hari bersama sang anak.
There’s more than that! Peradaban hari ini butuh lebih banyak Ayah ayah visioner. Ayah ayah kekinian,yang mampu mengekspansi jiwa jiwa yang ada dalam dekapannya untuk terus bertumbuh dalam irisan kebaikan yang tak lekang zaman. Jika detik ini Anda masih menjadi salah satu Ayah tanpa visi yang jelas, Sadarlah! Bahwa anda seorang Qowwam,bukan sekedar mesin pencetak uang. Sadarlah, Bahwa waktu terus berputar cepat. Anak anak tumbuh lebih cepat. Tanpa visi yang jelas,sesungguhnya Anda hanya sekedar membuang waktu semata.
Nurina Purnama Sari,Agathis 15 September 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H