Pertemuan membawa perasaanku kian melayang, senyum rupawan yang menghiasi bibirnya itu selalu terngiang, apakah dia pangeran yang selama ini aku hayalkan?
Hari terasa semakin cepat entah itu perasaanku saja atau bagaimana, kupandangi langit yang mulai menggelap menyisakan kesunyian yang mendalam, entah apa yang sudah membuatku seperti ini, seperti orang gila yang tak tau arah mau kemana.
Di malam hari selalu tergiang suara dan tawa yang tak aku ketahui siapa tuannya, aneh? Ya aku menyadari hal itu, mengagumi sosok yang tak pernah aku ketahui asal usulnya itu adalah hal yang paling menyakitkan bagiku. Aku merenung sambil menyaksikan keindahan malam dengan gemerlap bintang yang berhasil menghipnotis penglihatanku.
"sayang kamu lagi ngapain?" tanya pria berkopyah di belakangku, aku berbalik sambil menmandangi wajah tampan suamiku.
"tidur yuk, gak baik begadang" aku mengangguk sambil membuntuti suamiku ke kasur, dunia ini sangat indah bagi kita berdua. Seandainya bisa ingin aku meminta keabadian kepada tuhan agar aku selalu menikmati setiap anugerah indah yang telah ia berikan kepadaku.
"hei, ngapain bengong malam-malam?" tanya ibu sambil melambaikan tangannya didepanku, seketika aku mengerjap, suamiku? Aku terus mencari keberadaan suamiku.
"ngapain celingukan?" tanya ibuku sambil menirukan gayaku.
"suamiku?" tanyaku pada ibu, ibu terkejut mendengar ucapanku, apa yang salah dari ucapanku? seketika aku menyadari sesuatu, bodoh sekali diriku kenapa aku bisa keceplosan di depan ibu? bagaimana caraku menjelaskan kepada ibu?
"aaaa maksud siska itu suaminya si meng, ibu melihatnya tidak? Kasian dari tadi dicariin tuh" ibu menatapku curiga. Sejak kapan kucing punya suami? Bukankah kucing selalu berganti pasangan?
"udahlah ibu mau tidur dulu, tidurnya jangan malem-malem, oh iya suami meng nya jangan lupa di telfon biar balik ke kandangnya" ucap ibu sambil berjalan keluar dari kamarku, aku menepuk jidatku, kenapa sekarang aku seperti orang stress, sejak kapan kucing bisa telfonan? ibuku memang ada-ada saja, pantesan aku suka ngaur jadi ini alasannya, benar kata pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
***
 Rasa kram dikakiku sudah mulai terasa entah berapa lama aku disini menunggu seseorang yang belakangan ini selalu menghantui pikiranku, sepertinya nasipku kali ini kurang bagus, aku berjalan dengan lemas sambil menendang batu kerikil yang menganggu jalanku. Kenapa jatuh cinta itu semenyakitkan ini? jeritan hatiku.
Sepanjang jalan aku berharap ada keajaiban yang membawa pujaan hatiku, seperkian detik aku melihat seseorang yang berjalan melewatiku, aku tidak bisa berkata-kata sungguh indah ciptaannya. Dia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, tak hanya berwajah tampan ternyata dia memilik tatakrama yang alur biasa.
Senyum lebar terpampang jelas di wajah manisku, aku menghampiri ibu yang sedang menggoreng ikan.
"ibu kenal dengan pria tampan yang selalu lewat di kebun itu?" aku berharap ibuku tahu siapa pria yang aku maksud barusan.
"iya ibu lupa memberi tahumu" ucapan ibu terjeda, hal itu membuat jantungku berdebar. Cerita apa yang akan ibu sampaikan padaku? Apakah ibu sudah tahu dengan persaanku ini? "suaminya si meng udah pulang jadi kamu tidak perlu mencarinya ke kebun" lanjut ibu sambil tersenyum melihatku, satu tarikan nafas kasar keluar dari hidungku bukan itu cerita yang aku harapkan dari ibu, dengan sedikit kesal aku meninggalkan ibu yang sedang mendumel tidak jelas karena aku tidak membantunya.
***
Dari mana aku bisa mendapatkan informasi pangeran tampan itu? Kenapa jatuh cinta sangat merepotkan? Kemana gerangan pria tadi? Aduh kenapa otakku penuh dengan wajahnya yang sangat ramah dipandang itu? Apa yang harus aku lakukan? baru pertama kalinya aku merasakan perasaan yang aneh ini.
Seperti sudah menjadi kebiasaanku belakang ini jendela adalah tempat favoritku untuk mengahayalakan sesuatu yang belum bisa aku gapai.
"anak gadis kok senyum-senyum sendiri, kenapa neng?" tanya ibuku sambil duduk disampingku
"ibu tahu pria tampan dan ramah yang selalu lewat di kebun itu?" mendengar pertanyaanku mata ibu langsung melotot, seakan hal yang aku tanyakan barusan sebuah bencana besar baginya.
"jangan mikirin pria yang tidak kamu kenal, ingat siska kamu sudah ibu jodohkan dengan anak pak usatad rasyidin"
"tapi ibu siska gak suka sama anaknya pak ustad"
"pria sholeh seperti dia kamu tidak suka, lalu pria seperti apa yang kamu sukai, pria yang tidak jelas keimanannya. Iya?" tanya ibu sedikit membentakku, aku terhentak dengan bentakan itu. Baru pertama kalinya aku mendengar bentakannya, dengan tangan gemetar aku hanya bisa menggelengkan kepala.
"ibu jangan egois ini hidup siska, ibu gak perlu ikut campur, seperti apapun pria yang siska pilih berarti itu emang yang terbaik buat siska" ucapku lalu pergi dari hadapan ibu, hatiku hancur mendengar ucapan ibu barusan, kenapa ibu tidak pernah mempercayaiku? Apa salahnya aku memilih pasangan hidupku sendiri lagi pula yang menjalaninya aku bukan ibu, yang tahu aku bahagia enggaknya ya cuman diriku bukan ibu.
Air mataku terus mengalir entah bagaimana cara membendungnya, perdebatan tadi sangatlah membuatku kaget, kenapa aku harus dilahirkan dikeluarga yang selalu mengatur hidupku?Oh tuhan berikan jalan yang terbaik bagi hambamu ini.
***
Pagi hari yang mencekam, aku melangkah melewati ibuku yang kini sedang memberesi ruang makan, tak ada dialog antara kami sejak sarapan tadi.
Langkahku terhenti disebuah posko dekat kebun dengan harapan aku bisa melihat wajahnya, seorang yang selalu menghantui pikiranku.
Dalam diam hatiku tak berhenti berdesir saat tanpa sengaja tatapan kami bertemu, namun ada hal yang sangat menusuk saat aku melihat kalung salib melingkar indah di lehernya. Darah yang awalnya mengalir begitu deras kini seakan berhenti saat mengetahui satu fakta yang membuatku harus menyerah.
"sekenario seperti apa yang sedang engkau buat tuhan? kenapa rasa ini sangat sakit saat mengetahui hal yang menjadi alasanku untuk berhenti berharap, padahal Namanya pun aku belum mengetahuinya, apakah ini yang dinamakan cinta? Cinta yang seperti apa yang sedang hamba alami ini?" air mataku terus mengalir deras, semuanya terasa hampa bahkan untuk pulangpun aku enggan, mau ditaruh dimana mukaku ini, aku malu kepada ibu.
Dengan sedikit energi yang tersisa aku ikuti langkah lelaki itu, aku masih belum sepenuhnya percaya kalau kita beda keyakinan. Dan langkahku terhenti di depan gereja yang sangat megah dilihat dari luarnya.
Antara masjid dan gereja, antara lantunan adzan dan bunyi lonceng, antara hari jumat dan hari minggu, dan antara salib dan tasbih, kita satu amin tapi tidak seiman. Apakan  cinta beda agama lebih sakit dari pada cinta beda alam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H