Indonesia memang terkenal nih dengan kuliner sejuta nutrisi yang melibatkan rempah-rempah dalam proses pembuatannya sebagai the god of seasoning disetiap hidangan Nusantara. Apalagi dengan cuaca Indonesia yang seringkali tidak menentu, pagi cerah siangnya panas, lalu sore harinya hujan membuat badan kita cepat drop dan mudah demam. Biasanya ketika demam dianjurkan untuk meminum obat seperti paracethamol agar cepat sembuh. Hal ini tidak berlaku untuk diri saya yang kurang menyukai obat-obatan ketika sakit dan harus mengisi perut dulu sebelum minum zat kimia tersebut disaat tidak ada nafsu makan.
Nah, apa yang kamu lakuin ketika demam namun tidak ingin langsung memasukkan zat kimia ke dalam tubuh? Jamu menjadi langkah alternatif pertama saya ketika badan sudah mulai merasa tidak nyaman ketika demam. Sebelumnya jamu yang ada dalam pikiran saya adalah benda cair yang bisa langsung kita minum, sering kalinya pahit sedikit manis atau terasa asam di lidah, hingga saya mengenal Jamu Jun yang membuka pintu baru indera perasa.
Awal ketika mendengar Jamu Jun agak sedikit aneh dan penasaran namun tidak mencobanya langsung, hingga ketika saya demam, mulut terasa hambar, tidak ada selera makan dan kebetulan Bakul Jamu Ibu Yatmi yang sering lewat didepan rumah saya menawarkan untuk mencoba Jamu Jun yang sebetulnya saya sendiri hampir melupakan menu yang satu ini dari Ibu Yatmi karena biasanya saya hanya membeli jamu kunir asem, jamu daun sirih dan jamu brotowali.
Pertama kali melihat dengan disuguhkan visual warna coklat -- Â yang bisa saya tebak dari gula merah -- Â dengan warna putih santan yang jelas pastinya kuah santan, lalu ada bubuk merica diletakkan dipinggir. Suapan pertama Jamu Jun -- saya memilih bagian yang tidak ada bubuk mericanya -- di lidah terasa manis alami dari gula aren, gurih dan wangi.
Berbahan dasar tepung beras yang diberi campuran rempah rempah, terksturnya hampir seperti bubur membuat saya bingung jika jamu ini dimakan atau diminum? Tekstur yang sangat lembut dan agak sedikit kenyal membuat indera pengucap saya secara automatis tidak bergerak untuk mengunyah lantaran ketika masuk mulut terus melting, menghilang langsung di tenggorokan.
Suapan kedua saya memilih bagian yang ada mericanya, dan wow rasanya berubah langsung yang membuat saya merasa asing dan familiar disaat yang sama. Rasa manis-manis gurih yang diselingi rasa sedikit pedas dari merica didalam mulut saya seperti mengembalikan indera perasa ini yang tadinya hambar. Kemudian suapan selanjutnya sedikit demi sedikit saya campurkan dengan merica membuat mulut ini beradaptasi dengan rasa baru yang sebelumnya belum pernah saya rasakan.Â
Terkadang saya mengunyah Jamu Jun ini sebentar, dan pada bagian yang manis saya langsung menelannya bagai minum layaknya jamu biasa. Pada bagian manis ini -- yang tidak saya campur merica -- rasa dari jahe dan kapulaga begitu nyaman di mulut hingga sampai perut. Wangi lembut yang berasal dari pandan dan kayu manis sendiri serta gurihnya santan begitu menggugah selera untuk terus menelannya tanpa perlu mengunyah.
Sesuap demi sesuap tak terasa Jamu Jun yang dengan harga Rp.5000/porsi ini habis hingga membuat saya mengeluarkan keringat dingin tanpa saya sadari bagai minum obat demam. Meskipun mulut saya agak sedikit huh-hah-huh-hah karena pedas merica namun membuat saya lega lantaran sedikitnya ada kenaikan selera untuk makan.
Keesokkan harinya saya membeli lagi Jamu Jun dan sengaja ingin bertanya tentang Jamu Jun ini kepada Ibu Yatmi -- bakul jamu -- lebih mendalam karena nama Jamu Jun sendiri tidak terlalu dikenal seperti jamu kunir asem, dan jamu-jamu lainnya. Sambil saya makan Jamu Jun -- dengan berdiri -- dan tangan Ibu Yatmi yang melayani pesanan pembeli beliau berbagai cerita dan informasi jika Jamu Jun memang sudah jarang ada yang menjual dan Jamu Jun sendiri sudah mulai langka dan asing terutama pada generasi anak zaman sekarang -- Generasi Gen Z -- yang lebih memilih minuman seperti Boba dan minuman viral lainnya bahkan anaknya sendiri.
Beliau juga mengatakan jika alasan beliau berdagang Jamu Jun ini karena meneruskan bisnis ibunya yang telah meninggal. Jamu Jun dulunya sebagai menu utama yang dijajakan di area perumahan secara digendong keliling jalan kaki -- dimana sekarang menggunakan motor -- Â namun seiring berjalannya waktu menjadi menu sampingan bagi beliau lantaran menurunnya peminat, akan tetapi Jamu Jun ini selalu Ibu Yatmi sediakan meskipun sedikit sebagai ciri khas specialnya. Beliau juga mengatakan dengan nada guyon jika di tanah Jawa bisa dihitung dengan jari tangan yang masih jual Jamu Jun ini sehingga menjadi salah satu menu legendaris karena saking langkanya.
Setiap suapan Jamu Jun kedalam mulut saya -- kali ini saya order tanpa merica -- sambil mendengar Ibu Yatmi menjelaskan jika Jamu Jun sebenarnya berasal dari daerah pesisir Demak -- perbatasan Demak-Semarang -- akan tetapi karena pada zaman dulu banyak orang Demak yang berdagang kearah kota Semarang menjadikan Jamu Jun lebih banyak dikenal orang luar daerah sebagai salah satu Kuliner Khas Semarang, sedangkan di Demak namanya Jamu Coro.Â