Dulunya aku hanya seorang anak yang belajar mengerti banyak hal, mengejar matahari dan ingin melihatnya lebih dekat lagi. Aku memiliki banyak peran di dalam hidup ini, sebagai anak dan sebagai pemimpi. Aku bangga menyebut diriku sebagai seorang pemimpi, karena dengan bermimpi manusia akan selalu lebih bersemangat dalam berjuang mewujudkan mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan.Â
Sejak kecil aku bercita-cita menjadi seorang dokter karena aku sering melihat dokter di puskesmas yang berjalan dengan penuh kewibaannya. Apalagi ditambah dengan jas putih yang dikenakannya, menjadi ciri khas yang menjadi daya tarik tersendiri bagi yang melihatnya. Sepertinya impian sebagai dokter sudah melekat pada diriku sejak kecil.
Setelah aku lulus dari SMP, aku memilih untuk sekolah SMA sambil mondok di pondok pesantren . Di sinilah sebuah perjuangan besar dimulai dan masih dengan impian besarku pula. Oleh karena itu, aku mengambil program ipa di Madrasah  Aliyah Al Ittihad..
Jika dibandingkan dengan kehidupan di rumah , sangat berbeda sekali. Jika diibaratkan, aku bagaikan burung yang keluar dari sangkarnya karena dari kecil aku sudah dididik dengan tegas oleh orangtuaku dan dilatih hidup yang prosedural dan disiplin. Sehingga kehidupan di pondok sangatlah  menyenangkan bagiku karena tak ada lagi tuntutan-tuntutan yang sangat mengekangku.Â
Tetapi kebiasaan itu memang sulit untuk ditinggalkan. Jadi meskipun tidak lagi berada di rumah, aku tetap menjalankan kebiasaan-kebiasaan di rumah, termasuk sarapan pagi.Â
Meskipun jadwal di pondok sangat padat, aku masih menyempatkan untuk sarapan pagi. Mengingat perkataan ibuku "tidak masalah jika kamu tidak makan siang, tapi jangan sampai kamu tidak sarapan, sarapan itu penting."
Namun  itu tak bertahan lama, kebiasaan-kebiasaan di rumah mulai aku tinggalkan, seperti wajib belajar dalam sehari. Karena padatnya kegiatan, aku  lebih memilih untuk tidur daripada membaca pelajaran. Hal itu berlangsung sangat lama, hingga pertengahan kelas 12. Prestasiku kian menurun.Â
Setelah aku renungi kembali, memang kebijakan orang tua ku yang seperti itu bukanlah sebuah kesalahan, hanya aku yang selalu menyalahkan mereka karena terlalu mengekangku. Kini manfaatnya aku rasakan sendiri.Â
Dengan aku jarang belajar, maka aku tidak bisa mempertahankan prestasiku. Jika aku terus-terusan begini, bagaimana dengan cita-cita yang selama ini aku impikan?.
Sebuah perang besar bagi siswa akan segera dimulai yaitu UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). Namun sebelum itu, aku terdaftar sebagai peserta SNMPTN. Disitulah aku mulai terombang-ambing dengan cita-citaku kedepannya. Apakah aku akan tetap memperjuangkan cita-cita sejak kecilku itu? Mengingat bahwa untuk menjadi dokter bukanlah sesuatu yang mudah bahkan menjadi sebuah kemustahilan bagiku yang hanya anak seorang petani dan kemampuanku pun pas-pas an .Â
Bisa dibilang saat itu aku sangat pesimis. Aku mempunyai harapan yang sangat besar, disisi lain aku juga harus memikirkan kondisi orangtuaku. Memang mereka tidak membatasi cita-citaku tapi aku tidak ingin makin mempersulit keadaan mereka mengingat biaya masuk kedokteran pasti sangat mahal. Akhirnya aku  lebih memilih mengorbankan cita-cita itu meskipun berat hati. Aku memutuskan untuk